Wednesday, August 28, 2013

Maître Gims – J'me tire Lyrics

Refrain]
J'me tire, me demande pas pourquoi j'suis parti sans motif
Parfois je sens mon cœur qui s'endurcit
C'est triste à dire mais plus rien n'm'attriste Laisse-moi partir loin d'ici Pour garder l'sourire, je me disais qu'y'a pire
Si c'est comme ça, bah fuck la vie d'artiste
Je sais qu'ça fait cliché d'dire qu'on est pris pour cible
Mais j'veux l'dire juste pour la rime

[Pont]
J'me tire dans un endroit où j'serai pas l'suspect Après j'vais changer d'nom comme Cassius Clay Un endroit où j'aurai plus besoin d'prendre le mic'
Un endroit où tout l'monde s'en tape de ma life

[Refrain]

[Couplet]
Si j'reste, les gens me fuiront sûrement comme la peste Vos interviews m'ont donné trop d'maux d'tête
La vérité c'est que j'm'auto-déteste
Faut qu'j'préserve tout c'qu'il me reste Et tous ces gens qui voudraient prendre mon tél'
Allez leur dire que j'suis pas leur modèle
Merci à ceux qui disent "Meu-gui on t'aime
Malgré ta couleur ébène"

[Pont]

[Refrain]

[Outro]
J'suis parti sans mentir, sans me dire
"Qu'est-ce que j'vais devenir ?"
Stop ! Ne réfléchis plus, Meu-gui
Stop ! Ne réfléchis plus, vas-y !
Parti sans mentir, sans me dire
"Qu'est ce que j'vais devenir ?"
Stop ! Ne réfléchis plus, Meu-gui
Stop ! Ne réfléchis plus, vas-y !

[Refrain]

IN TENEBRAS DESCENDUS by Tristan Durieu


Un vent glacial soufflait sur les herbes grises et haute du champs désolé. L’air était palpable, le brouillard avait une odeur terrible, proche de celle de la putréfaction. C’était juste avant la nuit, on ne voyait rien, tout était beaucoup trop sombre et floue, mais il persistait dans l’air une infime lumière grise. Comme le symbole d’un dernier espoir avant la nuit qui durerait.  Le temps trouvait ici un écho particulier, ici il était comme indissociable de la mort, de l’inexistence.

L’homme avançait  sans aucune apparence humaine, ni animal d’ailleurs, simplement une chose qui avançait lentement dans les ténèbres naissant.
Pratiquement nu, il marchait et l’air soufflait sur sa peau dur et noir de crasse. Aveugle, complètement aveugle, il avançait.

Un mal de tête épouvantable lui compressait et lui déchirait la tête. Sans doute le vent qui entrait dans ses oreille et lui fouettait la peau y était pour quelque chose. Ce vent horrible qui semblait ne jamais cesser.
La nuit qui s’unissait avec le brouillard donnait un noir mouvant, dégradé de couleurs lugubres. Il avançait.

Combien d’étoiles invisibles se cachait derrière cette nuit? Brillait elle encore ou bien la pluie avait elle engendré leurs fonte? Et seigneur, que se trouvait il derrière cette couverture humide?

La marche lui faisait oublié, mais la fatigue le faisait fléchir sous son propre poids.

Toute  chose est vaine, sans intérêt, horriblement triviale. Et cette idée s’incrustait un peu plus à chacun de ses  pas dans son crâne. Il marchais, mais pourquoi donc marchait il?  Qui avait il au bout qui pouvait justifier tout cela? Rien, il n’y avait rien, mais il marchait  et cela lui faisait oublier.

Un pas, deux pas, trois pas… et cela ne semblait avoir de fin depuis la nuit des temps.
Et puis rien autour, juste l’herbe gelée qui craquait sous ses pieds.
Ses yeux se fermaient, ses jambes continuait d’avancé sans l’accord de son cerveau, il ne sentait plus rien. Anesthésier.

Il chuta et lorsque son corps fut à terre  le sol sembla l’avaler, il disparut.

cerpen galau anak sekolah

Satu Dan yang Terakhir

Pagi ini sangat sejuk. Sinar matahari hangat mencuri-curi celah untuk menembus kabut tipis di jalan. Sungguh hari yang menyenangkan untuk dijelajahi.
Namun lain di mata orang, lain pula di hati Rafli. Murid kelas satu SMA ini memandang segalanya suram. Semua karena ia terpaksa mengubur mimpinya dalam-dalam, yaitu satu jurusan IPA dengan tambatan hatinya sejak SMP, Fitri. Satu universitas, satu fakultas dan ke depannya, terpaksa Rafli hapus dari ingatannya. Semua karena kejadian tiga bulan lalu.

Sejak pagi sampai sekarang, Rafli tidak pernah bisa tenang. Pikirannya terpusat pada Fitri. Ia dibawa ke Rumah sakit karena penyakit yang dideritanya makin akut. Rafli terus gelisah. “Kenapa Fitri tidak pernah memberi tahu padaku masalah penyakitnya?” gumamnya dalam hati.
Dengan raut wajah yang amat resah, Alif melihat Rafli duduk di depan pintu kelas sambil meremas-remas ponselnya.

“Eh, kamu kenapa, Raf? Seperti gigimu mau copot aja”, celetuk Alif saat melihat Rafli. “Nggak lucu !” ucapnya dengan wajah super datar tidak seperti biasanya. Alif mulai mencari celah untuk duduk di sisi kanan Rafli. “Ada apa? Kamu kan bisa cerita!”, tawar Alif.
Rafli tidak menjawabnya, justru memalingkan wajahnya dan menyembunyikan wajah gelisah yang makin jelas terlihat, bahkan dari jauh sekalipun.
Getar ponselnya membuat Rafli tersentak. Telepon dari Dina. Ini yang ditunggunya, karena Dina yang menunggui Fitri di Rumah Sakit sejak pagi.
“Din, Fitri gimana? Keadaannya gimana?”, tanya Rafli begitu mengangkat telepon. “M…m… maksud kamu apa?”, ucapnya terbata. Alif yang memperhatikannya semakin khawatir. “Ada apa ini?”
Tiba-tiba saja badan Rafli gemetar. Tanpa komando, ponselnya meluncur jatuh dari genggamannya. Ia mematung, amat pucat, sepucat tembok. Airmata tidak dapat dibendung lagi oleh kelopak matanya. Rafli hendak berdiri, namun sekujur tubuhnya lemas dan Ia jatuh, setelah Dina mengatakan,
“Raf, Fitri sudah pergi sejam yang lalu. Sabar ya”.


….
Kini, Rafli duduk termangu di bangkunya. Jam masih menunjukkan pukul 06.05 tetapi ia sudah berada di sekolah. Rafli sengaja datang lebih awal, agar dirinya bisa memandangi bangku Almarhummah Fitri yang berada dibelakangnya. Membuka memori lalu, dan mengenangnya. Masa-masa saat mereka menjalani masa orientasi. Ketika kegiatan belajar, saat sedang jahil contek menyontek.
Namun segalanya telah sirna…
Tanpa sadar, mata tidak dapat menahan gejolak air matanya. Setetes kerinduan jatuh diatas meja Fitri yang hampa, tepat diatas coretan coretan “F+R”. Rafli teringat saat dirinya putus asa karena mendapat nilai jelek dalam ulangan. Fitri selalu menepuk bahu Ralfi dari belakang, dan selalu berkata, “Semangat dong, Raf… Kok Raflinya cemberut terus tuh, cakepnya pergi apa ya?”. Bila sudah begitu, senyum pasti langsung tersungging di wajah Rafli. Namun sekarang, siapa yang selalu menyemangatinya?
“Kok kamu jadi cengeng?”, suara Dina membuatnya kaget dan sesegera mungkin menghapus air mata dari wajahnya.
“Apa pedulimu?”, sergahnya dengan suara berat namun lirih.
“Begini, kamu tidak boleh terus menerus menangisinya. Sudah berapa banyak kamu habiskan waktu untuk menangisinya. Kalau begini terus kan Fitri juga yang susah disana, dia pasti tahu kalo kamu belum merelekannya pergi.”, jelasnya sambil membujuk Rafli untuk berhenti menangis.
“Lalu apa urusannya denganmu?”, Rafli mulai geram dan berdiri dari tempat duduknya, membuat Dina kaget.
“Raf ! Aku ini temennya juga! Aku juga kehilangan dia, sama seperti kamu! Karena aku menyayangi Fitri, Aku tidak akan mempersulitnya, aku mencoba untuk mengikhlaskan kepergiannya, walau ini sangat berat. Apalagi kamu yang kekasihnya. Rasa sanyangmu kepadanya pasti begitu besar, yakan?”, tegasnya pada Rafli.
“Tentu saja! Lantas aku harus apa?”. Rafli lunglai, segalanya yang dikatakan Dina sangat benar.
“Maka cobalah relakan Fitri pergi. Kamu tahu? Bila kamu menangis, Fitri pun menangis disana. Kau tidak mau ditinggalkannya, Dia pun tidak ingin meninggalkanmu. Tapi dia sudah punya waktu yang diberi olehNya dan dia butuh kerelaanmu untuk mebiarkannya pergi. Maka cobalah ikhlaskan,” pinta Dina pada Rafli.
“Baiklah,”. Rafli terkulai lemas di tempat duduknya.
Tidak ada yang tahu perseteruan pagi itu. Hanya Dina dan Rafli. Ini semua tergantung pada Rafli. Keikhlasannya sangat dibutuhkan oleh Fitri sebagai surat izin sah untuk pergi dan tak kembali.

“Kalau kelas sebelas nanti kita satu jurusan ya!”
“Memang kamu ingin masuk jurusan apa, Fit?”
“IPA, dong! Biar nanti bisa ambil kedokteran di universitas”
“Wah! Sama dong! Tidak disangka!”
“Kita sehati, ya Raf! Hihihi!”
“Hahahaha, bisa aja kamu!”
….
Dua hari setelah itu, Rafli benar-benar lupa kalau hari ini ada ulangan Kimia. Begitu lelahnya karena ekstrakurikuler futsal yang diikutinya kemarin, ia langsung terlelap begitu sampai di rumah. Ia tidak belajar satu mata pelajaran pun untuk hari ini. Beberapa saat sebelum ulangan dimulai, Rafli menyempatkan diri untuk membaca sekilas materi yang akan diujikan. Ia betul-betul pasrah. Ia harus mengerjakannya dengan usaha yang ia bisa, semaksimal mungkin. Dan dikerahkanlah tenaga Rafli untuk memngerjakan soal yang super sulit itu. Dan pada akhirnya selesai juga!
“Ya! Langsung kita cocokkan hari ini. Berhubung saya punya dua jam pelajaran,” ucap guru Kimia itu saat semua lembar jawab terkumpul. Uh… sialan!, gumam Rafli didalam hati. Ini akan membuatnya benar-benar frustasi! Tidak tahu nanti berapa hasil ulangannya. “Pasrah sajalah!” pikirnya.
Setelah dikoreksi bersama dan dikumpulkannya satu persatu, guru itu membacakan nilainya siswa demi siswa, dan…
“Rafli Pradistya… 92!”, desis-desis pujian dari teman-teman kelas tak berhenti untuk Rafli karena mendapat nilai yang hampir sempurna. “Hah? Aku nggak salah denger? Belajar nggak, nyontek juga nggak. Tapi kok bisa bagus ya?” gumam Rafli gembira seraya bersyukur,”Terima kasih, Ya Tuhan!”
Ia teringat sesuatu, Fitri. Dan Rafli menoleh ke belakang secara reflex.
“Fit aku…”, kalimat yang hendak diucapkannya terhenti. Rafli baru ingat, ia biasa memberi tahu Fitri apapun tentang ulangannya. Namun ia baru sadar bahwa Fitri memang benar-benar tidak ada lagi disana. Rafli kembali menoleh ke depan dengan lesu dan sedih,dan tersandar lemah diatas meja. Alif yang duduk satu meja dengan Rafli tidak tega melihat Rafli kembali sedih. Padahal, belum lama Ia sembuh dari kegalauannya, sekarang sudah dilanda kesedihan lagi.
“Tidak apa-apa, Fitri pasti senang mendengar kabar gembiramu,” ucapnya pada Raflisambil menepuk-nepuk kecil bahu Rafli. Rafli menoleh sebentar ke arah Alif, lalu kembali lagi pada posisi semula.bukannya membuat Rafli semangat, tetapi justru menambah sedih.
Waktu pulang sekolah pun tiba. Semua keluar dengan wajah gembira untuk melepas penat dari rutinitas mereka. Namun tidak dengan Rafli. Gara-gara nilai yang nyaris sempurna didapatnya, Ia kembali teringat pada Fitri. Dikepalanya hanya bayang-bayang wajah Fitri dan suara-suaranya yang selalu terngiang-ngiang di telinganya.
“Hei, Raf! Ngelamun aja kerjaanya. Ntar kesambet  gimana coba?” tegur Hanna teman sekelas Rafli. Teguran Hanna tadi memang membuat rafli kaget. Tapi tidak cukup kuat untuk menyadarkan Rafli dari lamunannya. Ia tetap pada posisinya.”Hei, nilaimu bagus bener. Tapi kenapa kamu tekuk wajahmu itu? ” Tanya Hanna heran. Rafli hanya membalas dengan senyuman yang dipaksakan muncul diantara wajah sedihnya.
“Hmm.. ya sudahlah. Aku duluan, ya! Daah!” seru Hanna sambil menjauh mendahului Rafli.
….
“Bagus bener nilaimu, Raf! Ajarin aku dong !”
“Ahh… aku saja tidak bisa , kau ini…”
“Tidak bisa dari HongKong? Nilaimu saja jauh lebih tinggi dariku. Ayolah ,Raf ajarin aku!”
“Hahahaha iya deh aku ajarin.”
….
Dalam perjalanan ke rumah, Rafli benar-benar tidak bisa berkonsentrasi mengendarai motor. Di tiap-tiap detik, Ia selalu teringat kenangan-kenangannya bersama Fitri. Sampai-sampai Rafli hamper menerobos lampu merah di jalan.
Dilihat jalan sudah tidak terlalu ramai, Rafli menambah laju kecepatan motornya, namun dalam keadaan tidak fokus. Tiba-tiba saja muncul sebuah mobil sedan hitam dari pertigaan jalan, sementara Rafli berada tidak jauh lagi dari pertigaan. Sadar mobil itu sudah sangat dekat, Rafli memilih untuk menarik rem secara mendadak, ternyata itu salah.
Rem yang ditariknya benar-benar kuat dan pakem, membuat tubuhnya terlempar dari motor, tetapi tidak menabrak badan mobil, melainkan hingga melewati bagian atas mobil tersebut. Dan tubuh Rafli tebanting ke aspal dengan sangat keras…
“Raf?”
“Apaan?”(menoleh lalu meletakkan ballpoint)
“Kita buat janji, yuk!”
“Hmm… janji? Boleh kok, janji apa?”Tanya Rafli penasaran
“Kita itu satu, dan yang terakhir. Mana kelingkingmu?”(menyodorkan kelingkingnya)
“Satu, dan yang terakhir!”(berbarengan mengucapkan)
….
Satu, dan yang terakhir…
 .
.
.
Rafli membuka matanya. Dimana ini? Luas sekali! Padang rumput ini luas sekali!, batin Rafli. Ia masih teringat terkahir kali ia sedang mengendarai sepeda motor. “Hei, Raf! Mencari siapa?” tegur sebuah suara dari arah belakang. Suara yang sangat familiar di telinga Rafli. Fitri!
Begitu rafli berbalik, Ia melihat seseorang yang sangat dikenalnya. Fitri tentu saja! Ia lebih cantik dari biasanya. Tanpa basa-basi, Rafli langsung memeluk Fitri. Hangat sekali rasanya, seperti ratusan tahun tidak bertemu.
“Kamu kemana aja, Fit? Kamu ninggalin aku.” bisik Rafli pada Fitri yang ada dalam pelukkannya. “Aku nggak kemana-mana kok. Setiap hari aku selalu ikut kamu,” ucap Fitri sambil melepas pelukannya. Rafli terdiam seribu bahasa. Perasaannya bercampur aduk antara senang, sedih, bingung dan sebagainya.
Fitri menatap wajah Rafli. Dilihatnya banyak perubahan tajam pada wajahnya. “Wajahmu Nampak lesu, pucat juga. Ada apa denganmu? Apa yang terjadi selama aku nggak ada?” tanya Fitri.
“Kau tahu? Aku terpuruk sejak kau menghilang. Hariku serasa hambar tanpa hadirmu. Aku kehilangan penyemangat hidupku. Tanpamu semua terasa hampa. Aku merasa sendirian setiap waktu. Kenapa kamu nggak pulang aja? Aku membutuhkanmu dalam hidupku!” jelas Rafli pada Fitri yang sejak tadi memperhatikannya berbicara.
Fitri kembali memeluk Rafli, lebih erat dari sebelumnya. Harum tubuh Fitri yang melebihi wewangian dan parfum dapat tercium oleh Rafli. Semoga ini menjadi selamanya, pinta Rafli dalam batin. Sambil melepas pelukkannya , Fitri berkata, “Sebenarnya aku ingin sekali kembali menemanimu. Tapi..” kalimat fitri terhenti sejenak. “Tapi apa? Kamu cukup ikut aku pulang, itu saja !” kata Rafli sambil menunjuk sebuah pagar besi yang cukup tinggi di ujung hamparan rumput luas.
 “Tapi aku nggak bisa, Raf. Aku harus tetap berada di sini. Aku dan waktuku sudah terikat. Dan itu artinya aku emang nggak bisa pergi dari tempat ini!” jelas Fitri dengan mata berkaca-kaca. Dan akhirnya airmata pun meleleh di pipinya.tanpa berpikir panjang, Rafli berkata,”Ok, kalau begitu aku akan tinggal bersamamu disini.” ucapnya sambil menghapus air mata Fitri dengan kedua telapak tangannya.
“Nggak bisa gitu, Raf!” larang Fitri.
“Lalu aku harus bagaimana? Aku tanpamu bukanlah apa-apa. Kau tahu itu, Fit. Biarkan aku tinggal,” pinta Rafli.
“Nggak bisa, Raf. Kita sekarang udah beda. Aku nggak seperti dulu lagi. Dunia kita udah jauh berbeda sekarang, jelas Fitri.
Rafli gelisah mendengar apa yang diucapkan Fitri.”Lihatlah! kamu masih sama seperti dulu, Fitri. Masih cantik seperti dulu!” Rafli tak mampu lagi berkata-kata.
“Ingatlah cita-cita kita, Raf! Menjadi satu jurusan, satu perguruan tinggi. Kau masih harus meneruskannya. Kau menyayangiku kan? Dengan kamu melanjutkan hidup tanpaku, sudah merupakan wujud kasih sayangmu kepadaku. Percayalah, aku akan bahagia bila melihatmu bahagia,”pinta Fitri pada Rafli.
Rafli hanya mengangguk lesu. Disisi lain, dirinya ingin mengabulkan permintaan kekasihnya itu, namun ia juga ingin tetap tinggal bersama Fitri. Keraguan memenuhi isi hati Rafli.
Tanpa sadar, Fitri sudah menyodorkan kelingkingnya di depan Rafli. Tanpa perintah, Rafli membalas mengaitkan kelingkingnya dengan kelingking Fitri. “Satu, dan yang terakhir,” ucap Fitri diikuti oleh Rafli.
“Teruskanlah cita-citaku bersamamu. Teruskanlah hidupmu tanpaku,” ucap yang makin lama makin menjauh tanpa sepengetahuan Rafli. “Rafli, aku pamit,ya!” ucapan pamit Fitri menyadarkan Rafli dari diamnya. Mengetahui itu semua, Rafli mencoba mengejar Fitri. Tetapi sayangusaha itu sia-sia. Semakin dikejar, Fitri dan bayangannya makin menjauh
“Fit! Tungguin aku!” seru Rafli sambil berlari. Sementara Fitri makin menjauh.
“Aku harus pergi,” ucap Fitri tersenyum pada Rafli.
Rafli masih mengejar-ngejar Fitri  yang makin lama makin tidak terjangkau lagi. Akhirnya Fitri hilang dan Rafli berhenti. Dirinya merasa sangat lelah, degup jantungnya mulai tidak teratur. Ia merasakan sakit yang begitu kuat di dadanya. Nafasnya mulai memendek dan pandangannya kabur. Akankah aku tinggal? Atau kembali? gumamnya dalam hati. Rafli tidak mau tahu apa yang terjadi nanti. Dan tidak lama kemudian, Rafli ambruk. Dam semuanya berakhir…

In the arms of an Angel fly away from here
From this dark cold hotel room, and the endlessness that you feel
You are pulled from the wreckage of your silent reverie
You’re in the arms of an Angel; may you find
Some comfort here…
….
Rafli berhasil hidup kembali. Pertemuanya dengan Fitri merupakan batas antara hidup dan matinya Rafli. Karena pada saat itu, Rafli sudah meninggal selama tiga menit. Tetapi karena dokter di Rumah Sakit itu tahu bahwa peluang untuk Rafli hidup lagi masih ada, berbagai usaha dilakukan untuk memacu jantung Rafli kembali berdetak. Dan akhirnya berhasil.
Kini Rafli masih terbaring di ICU. Karena kecelakaan yang dialaminya sekarang ia disini. Tulang rusuknya retak dan tangannya mengalami patah sendi. Selang-selang infus dan oksigen masih terpasang di badannya. Butuh waktu satu bulan untuk Rafli pulih sepenuhnya,..
“Rafli, aku pamit, ya!”

“Fitri..,” itu yang diucapkan Rafli saat membuka matanya, membuat kedua orang tuanya yang menunggui sejak tadi malam itu, terbangun. Dengan cepat, ibu Rafli menghampirinya. “Alhamdulillah, syukurlah, nak. Kamu sudah sadar. Kami sangat khawatir. Kami hampir kehilangan kamu,” ucap Ibu Rafli  sambil membelai dahi anak semata wayangnya itu. “Ini dimana?,” tanya Rafli pada ayahnya dengan suara lemah. “Ini di rumah sakit, nak. Kamu habis kecelakaan,” jelas ayahnya. Mengetahui itu Rafli langsung melihat ke tangan kirinya yang dirasa kaku dan sakit. Terpasang gips disana. “Ah.. iya,” kata Rafli. “Fitri mana, Yah, Bu? Tadi dia disini,” tanya Rafli pada kedua orang tuanya. Mereka bingung hendak menjawab apa, mereka memandangi satu sama lain, takut kalau-kalau mereka salah menjawab dan membuat anaknya kecewa.
“Nngg… Fitri kan sudah tenang sekarang, nak. Kamu ingat kan?” jelas ibunya dengan sangat lembut. “Tapi..tapi tadi…,” Rafli hendak bicara namun terhenti. Ia teringat kata-kata Dina. Ia tidak boleh menangisi Fitri lagi. Ia harus mengikhlaskan kepergiannya. “…ah sudahlah,” lanjut Rafli sambil memejamkan matanya.”Kamu… tidak apa-apa kan, nak?” tanya ibunya khawatir.”Nggak papa kok,Bu. Oh iya, ponselku dimana ya, Bu? Selamat kan?” tanya Rafli pada ibunya. “ Oh, syukurlah. Ngomong-ngomong, ini ponselmu,” kata ibu Rafli sambil meraih ponsel yang ada diatas meja dan memberikannya. “Kami ingin pulang dulu ke rumah, Ayah juga harus berangkat kerja. Apa kamu mau kami tinggal?” tanya Ayah Rafli. “Nggak papa kok,Yah,” jelas Rafli.”Yasudah, kami pulang dulu, ya! Mungkin nanti Asta dan Dina akan menjengukmu sepulang sekolah. Baik-baik ya!” pamit Ayahnya sambil beranjak pergi dari kamar ICU.
Sepeninggal kedua orang tuanya, Rafli menyalakan ponsel. Foto Fitri langsung  terpampang di layar ponsel Rafli. Itulah yang ingin dilihat Rafli dari ponselnya sejak tadi. Foto yang diambil Rafli saat Fitri sedang berkutat mengerjakan tugas. “Fitri, aku janji, aku janji bikin kamu senang,” ucapnya sambil memandangi potret Fitri. Tanpa sadar, titik-titik air mata meleleh di pipinya…

cause there’ll be no sunlight
If I lose you baby
There’ll be no clear sky
If I lose you baby
Just like the clouds
My eyes will do the same if you walk away

Everyday it’ll rain, rain., rain…
                       
Lima hari kemudian..
Kondisi Rafli semakin semakin pulih, ia sudah bisa duduk sekarang. Mungkin tinggal menunggu beberapa hari lagi ia dapat pulang dan kembali sekolah.
Hari ini, Rafli banyak dijenguk oleh teman sekelasnya, termasuk Dina dan kawan-kawannya. Sekarang Rafli sudah bisa tersenyum kembali. Namun hari ini ada sebuah kejadian yang begitu mengejutkan.
Saat Rafli sedang beristirahat di ruang rawat inap, kedua orang tuanya sudah pulang. “Ck… ternyata bosen juga ya, pengin sekolah… pengen main,” kata Rafli bicara sendiri untuk mengusir keheningan
Suara pintu terbuka membuat Rafli terkejut, dia pikir itu teman yang akan menjenguk,  suster, atau mungkin dokternya.., tapi ternyata…
“Ah… maaf, saya telah salah kamar,” seorang perempuan tak dikenal salah masuk kamar pasien. Dan ini yang membuat Rafli terkejut. Orang ini sama persis dengan Fitri! Dari wajah, badan, semuanya sama!
Rafli terdiam melihat orang ini. Dia mengamati perempuan ini dari atas sampai bawah…”Maaf, Mas. Saya udah salah kamar, saya permisi dulu,” pamit perempuan itu dengan malu-malu. Tapi, saat ia mulai menjauh menuju pintu…
“Eh, tunggu! Ke sini sebentar!” cegah Rafli sambil beranjak dari tempat tidur . Perempuan itu pun kembali.
“Nngg… ada apa ya, Mas?” Tanya perempuan itu bingung.
“Nngg… a… aku Rafli,” ucap Rafli sambil menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan.
“Tia..,” jawab perempuan itu sambil menunduk. Ia benar-benar mirip Fitri! Hanya saja ia mengenakan jilbab.
“Masalah tadi jangan dipikirin… ngomong-ngomong kamu sekolah dimana?” dan percakapan sekaligus perkenalan sore itu berlanjut. Mereka langsung akrab. Bisa tertawa saat cerita, dan bertukar nomor ponsel. Hubungan mereka berlanjut, dsan akhirnya mereka dapat menyatakan perasaan mereka masing-masing. Tentang Fitri, Rafli belum pernah memberi tahu apapun pada Tia. Hubungan mereka pun berjalan lancar dan bertahan lama.
Rafli tidak lupa janjinya pada Fitri. Kini ia berada di jurusan IPA untuk melanjutkan cita-cita mereka berdua. Rafli yang dulu kelam sudah hilang menjadi masa yang terbuang. Sekarang, dengan semangat, senyum dan tawanya yang baru. Ia kembali menjadi Rafli yang sebenarnya.
--FIN--

Rezso Seress - Gloomy Sunday

Gloomy Sunday

Sunday is gloomy
the hours are slumberless
dearest the shadows
I live with are numberless

Little white flowers
will never awaken you,
not where the dark coach
of sorrow has taken you

Angels have no thought
of ever returning you
would they be angry
if I thought of joining you?

Gloomy Sunday

Gloomy Sunday
with shadows I spend it all
my heart and I
have decided to end it all

Soon there'll be prayers
and candles are lit, I know
let them not weep
let them know, that I'm glad to go

Death is a dream
for in death I'm caressing you
with the last breath of my soul
I'll be blessing you

Gloomy Sunday

Dreaming, I was only dreaming
I wake and I find you asleep
on deep in my heart, dear

Darling, I hope
that my dream hasn't haunted you
my heart is telling you
how much I wanted you

Gloomy Sunday

It's absolutely gloomy sunday

L'automne Lamartine

Salut! bois couronnés d'un reste de verdure! Feuillages jaunissants sur les gazons épars! Salut, dernier beaux jours! le deuil de la nature Convient à la douleur et plaît à mes regards!

Je suis d'un pas rêveur le sentier solitaire, J'aime à revoir encor, pour la dernière fois, Ce soleil pâlissant, dont la faible lumière Perce à peine à mes pieds l'obscurité des bois!

Oui, dans ces jours d'automne où la nature expire, A ses regards voilés je trouve plus d'attraits, C'est l'adieu d'un ami, c'est le dernier sourire Des lèvres que la mort va fermer pour jamais!

Ainsi prêt à quitter l'horizon de la vie, Pleurant de mes longs jours l'espoir évanoui, Je me retourne encore, et d'un regard d'envi Je contemple ses biens dont je n'ai pas joui!

Terre, soleil, vallons, belle et douce nature, Je vous dois une larme, aux bords de mon tombeau; L'air est si parfumé! La lumière est si pure! Aux regards d'un mourant le soleil est si beau!

Je voudrais maintenant vider jusqu'à la lie Ce calice mêlé de nectar et de fiel! Au fond de cette coupe où je buvais la vie, Peut-être restait-il une goutte de miel?

Peut-être l'avenir me gardait-il encore Un retour de bonheur dont l'espoir est perdu? Peut-être dans la foule, une âme que j'ignore Aurait compris mon âme et m'aurait répondu?

La fleur tombe en livrant ses parfums au zéphyr, A la vie, au soleil, ce sont là ses adieux; Moi, je meurs; et mon âme, au moment qu'elle expire, S'exhale comme un son triste et mélodieux.

L’homme et La Mer

Homme libre, toujours tu chériras la mer !
La mer est ton miroir; tu contemples ton âme
Dans le déroulement infini de sa lame,
Et ton esprit n'est pas un gouffre moins amer.


Tu te plais à plonger au sein de ton image;
Tu l'embrasses des yeux et des bras, et ton
Coeur.
Se distrait quelquefois de sa propre rumeur.
Au bruit de cette plainte indomptable et sauvage.


Vous êtes tous les deux ténébreux et discrets:
Homme, nul n'a sondé le fond de tes abîmes,
Ô mer, nul ne connaît tes richesses intimes,
Tant vous êtes jaloux de garder vos secrets !


Et cependant voilà des siècles innombrables.
Que vous vous combattez sans pitié ni remords,
Tellement vous aimez le carnage et la mort,
Ô lutteurs éternels, ô frères implacables !


-Charles Baudelaire-

DEJEUNER DU MATIN

Il a mis le café
Dans la tasse
Il a mis le lait
Dans la tasse de café
Il a mis le sucre
Dans le café au lait
Avec la petite cuiller
Il a tourné
Il a bu le café au lait
Et il a reposé la tasse
Sans me parler
Il a allumé
Une cigarette
Il a fait des ronds
Avec la fumée
Il a mis les cendres
Dans le cendrier
Sans me parler
Sans me regarder
Il s’est levé
Il a mis
Son chapeau sur sa tête
Il a mis son manteau de pluie
Parce qu’il pleuvait
Et il est parti
Sous la pluie
Sans une parole
Sans me regarder
Et moi j’ai pris
Ma tête dans ma main
Et j’ai pleuré

L’Eternité - Arthur Rimbaud

Elle est retrouvée.
Quoi? – L’Eternité.
C’est la mer allée
Avec le soleil.

Ame sentinelle,
Murmurons l’aveu
De la nuit si nulle
Et du jour en feu.

Des humains suffrages,
Des communs élans
Là tu te dégages
Et voles selon.

Puisque de vous seules,
Braises de satin,
Le Devoir s’exhale
Sans qu’on dise : enfin.

Là pas d’espérance,
Le supplice est sûr.

Elle est retrouvée.
Quoi ? – L’Eternité.
C’est la mer allée
Avec le soleil.