Wednesday, August 28, 2013

cerpen galau anak sekolah

Satu Dan yang Terakhir

Pagi ini sangat sejuk. Sinar matahari hangat mencuri-curi celah untuk menembus kabut tipis di jalan. Sungguh hari yang menyenangkan untuk dijelajahi.
Namun lain di mata orang, lain pula di hati Rafli. Murid kelas satu SMA ini memandang segalanya suram. Semua karena ia terpaksa mengubur mimpinya dalam-dalam, yaitu satu jurusan IPA dengan tambatan hatinya sejak SMP, Fitri. Satu universitas, satu fakultas dan ke depannya, terpaksa Rafli hapus dari ingatannya. Semua karena kejadian tiga bulan lalu.

Sejak pagi sampai sekarang, Rafli tidak pernah bisa tenang. Pikirannya terpusat pada Fitri. Ia dibawa ke Rumah sakit karena penyakit yang dideritanya makin akut. Rafli terus gelisah. “Kenapa Fitri tidak pernah memberi tahu padaku masalah penyakitnya?” gumamnya dalam hati.
Dengan raut wajah yang amat resah, Alif melihat Rafli duduk di depan pintu kelas sambil meremas-remas ponselnya.

“Eh, kamu kenapa, Raf? Seperti gigimu mau copot aja”, celetuk Alif saat melihat Rafli. “Nggak lucu !” ucapnya dengan wajah super datar tidak seperti biasanya. Alif mulai mencari celah untuk duduk di sisi kanan Rafli. “Ada apa? Kamu kan bisa cerita!”, tawar Alif.
Rafli tidak menjawabnya, justru memalingkan wajahnya dan menyembunyikan wajah gelisah yang makin jelas terlihat, bahkan dari jauh sekalipun.
Getar ponselnya membuat Rafli tersentak. Telepon dari Dina. Ini yang ditunggunya, karena Dina yang menunggui Fitri di Rumah Sakit sejak pagi.
“Din, Fitri gimana? Keadaannya gimana?”, tanya Rafli begitu mengangkat telepon. “M…m… maksud kamu apa?”, ucapnya terbata. Alif yang memperhatikannya semakin khawatir. “Ada apa ini?”
Tiba-tiba saja badan Rafli gemetar. Tanpa komando, ponselnya meluncur jatuh dari genggamannya. Ia mematung, amat pucat, sepucat tembok. Airmata tidak dapat dibendung lagi oleh kelopak matanya. Rafli hendak berdiri, namun sekujur tubuhnya lemas dan Ia jatuh, setelah Dina mengatakan,
“Raf, Fitri sudah pergi sejam yang lalu. Sabar ya”.


….
Kini, Rafli duduk termangu di bangkunya. Jam masih menunjukkan pukul 06.05 tetapi ia sudah berada di sekolah. Rafli sengaja datang lebih awal, agar dirinya bisa memandangi bangku Almarhummah Fitri yang berada dibelakangnya. Membuka memori lalu, dan mengenangnya. Masa-masa saat mereka menjalani masa orientasi. Ketika kegiatan belajar, saat sedang jahil contek menyontek.
Namun segalanya telah sirna…
Tanpa sadar, mata tidak dapat menahan gejolak air matanya. Setetes kerinduan jatuh diatas meja Fitri yang hampa, tepat diatas coretan coretan “F+R”. Rafli teringat saat dirinya putus asa karena mendapat nilai jelek dalam ulangan. Fitri selalu menepuk bahu Ralfi dari belakang, dan selalu berkata, “Semangat dong, Raf… Kok Raflinya cemberut terus tuh, cakepnya pergi apa ya?”. Bila sudah begitu, senyum pasti langsung tersungging di wajah Rafli. Namun sekarang, siapa yang selalu menyemangatinya?
“Kok kamu jadi cengeng?”, suara Dina membuatnya kaget dan sesegera mungkin menghapus air mata dari wajahnya.
“Apa pedulimu?”, sergahnya dengan suara berat namun lirih.
“Begini, kamu tidak boleh terus menerus menangisinya. Sudah berapa banyak kamu habiskan waktu untuk menangisinya. Kalau begini terus kan Fitri juga yang susah disana, dia pasti tahu kalo kamu belum merelekannya pergi.”, jelasnya sambil membujuk Rafli untuk berhenti menangis.
“Lalu apa urusannya denganmu?”, Rafli mulai geram dan berdiri dari tempat duduknya, membuat Dina kaget.
“Raf ! Aku ini temennya juga! Aku juga kehilangan dia, sama seperti kamu! Karena aku menyayangi Fitri, Aku tidak akan mempersulitnya, aku mencoba untuk mengikhlaskan kepergiannya, walau ini sangat berat. Apalagi kamu yang kekasihnya. Rasa sanyangmu kepadanya pasti begitu besar, yakan?”, tegasnya pada Rafli.
“Tentu saja! Lantas aku harus apa?”. Rafli lunglai, segalanya yang dikatakan Dina sangat benar.
“Maka cobalah relakan Fitri pergi. Kamu tahu? Bila kamu menangis, Fitri pun menangis disana. Kau tidak mau ditinggalkannya, Dia pun tidak ingin meninggalkanmu. Tapi dia sudah punya waktu yang diberi olehNya dan dia butuh kerelaanmu untuk mebiarkannya pergi. Maka cobalah ikhlaskan,” pinta Dina pada Rafli.
“Baiklah,”. Rafli terkulai lemas di tempat duduknya.
Tidak ada yang tahu perseteruan pagi itu. Hanya Dina dan Rafli. Ini semua tergantung pada Rafli. Keikhlasannya sangat dibutuhkan oleh Fitri sebagai surat izin sah untuk pergi dan tak kembali.

“Kalau kelas sebelas nanti kita satu jurusan ya!”
“Memang kamu ingin masuk jurusan apa, Fit?”
“IPA, dong! Biar nanti bisa ambil kedokteran di universitas”
“Wah! Sama dong! Tidak disangka!”
“Kita sehati, ya Raf! Hihihi!”
“Hahahaha, bisa aja kamu!”
….
Dua hari setelah itu, Rafli benar-benar lupa kalau hari ini ada ulangan Kimia. Begitu lelahnya karena ekstrakurikuler futsal yang diikutinya kemarin, ia langsung terlelap begitu sampai di rumah. Ia tidak belajar satu mata pelajaran pun untuk hari ini. Beberapa saat sebelum ulangan dimulai, Rafli menyempatkan diri untuk membaca sekilas materi yang akan diujikan. Ia betul-betul pasrah. Ia harus mengerjakannya dengan usaha yang ia bisa, semaksimal mungkin. Dan dikerahkanlah tenaga Rafli untuk memngerjakan soal yang super sulit itu. Dan pada akhirnya selesai juga!
“Ya! Langsung kita cocokkan hari ini. Berhubung saya punya dua jam pelajaran,” ucap guru Kimia itu saat semua lembar jawab terkumpul. Uh… sialan!, gumam Rafli didalam hati. Ini akan membuatnya benar-benar frustasi! Tidak tahu nanti berapa hasil ulangannya. “Pasrah sajalah!” pikirnya.
Setelah dikoreksi bersama dan dikumpulkannya satu persatu, guru itu membacakan nilainya siswa demi siswa, dan…
“Rafli Pradistya… 92!”, desis-desis pujian dari teman-teman kelas tak berhenti untuk Rafli karena mendapat nilai yang hampir sempurna. “Hah? Aku nggak salah denger? Belajar nggak, nyontek juga nggak. Tapi kok bisa bagus ya?” gumam Rafli gembira seraya bersyukur,”Terima kasih, Ya Tuhan!”
Ia teringat sesuatu, Fitri. Dan Rafli menoleh ke belakang secara reflex.
“Fit aku…”, kalimat yang hendak diucapkannya terhenti. Rafli baru ingat, ia biasa memberi tahu Fitri apapun tentang ulangannya. Namun ia baru sadar bahwa Fitri memang benar-benar tidak ada lagi disana. Rafli kembali menoleh ke depan dengan lesu dan sedih,dan tersandar lemah diatas meja. Alif yang duduk satu meja dengan Rafli tidak tega melihat Rafli kembali sedih. Padahal, belum lama Ia sembuh dari kegalauannya, sekarang sudah dilanda kesedihan lagi.
“Tidak apa-apa, Fitri pasti senang mendengar kabar gembiramu,” ucapnya pada Raflisambil menepuk-nepuk kecil bahu Rafli. Rafli menoleh sebentar ke arah Alif, lalu kembali lagi pada posisi semula.bukannya membuat Rafli semangat, tetapi justru menambah sedih.
Waktu pulang sekolah pun tiba. Semua keluar dengan wajah gembira untuk melepas penat dari rutinitas mereka. Namun tidak dengan Rafli. Gara-gara nilai yang nyaris sempurna didapatnya, Ia kembali teringat pada Fitri. Dikepalanya hanya bayang-bayang wajah Fitri dan suara-suaranya yang selalu terngiang-ngiang di telinganya.
“Hei, Raf! Ngelamun aja kerjaanya. Ntar kesambet  gimana coba?” tegur Hanna teman sekelas Rafli. Teguran Hanna tadi memang membuat rafli kaget. Tapi tidak cukup kuat untuk menyadarkan Rafli dari lamunannya. Ia tetap pada posisinya.”Hei, nilaimu bagus bener. Tapi kenapa kamu tekuk wajahmu itu? ” Tanya Hanna heran. Rafli hanya membalas dengan senyuman yang dipaksakan muncul diantara wajah sedihnya.
“Hmm.. ya sudahlah. Aku duluan, ya! Daah!” seru Hanna sambil menjauh mendahului Rafli.
….
“Bagus bener nilaimu, Raf! Ajarin aku dong !”
“Ahh… aku saja tidak bisa , kau ini…”
“Tidak bisa dari HongKong? Nilaimu saja jauh lebih tinggi dariku. Ayolah ,Raf ajarin aku!”
“Hahahaha iya deh aku ajarin.”
….
Dalam perjalanan ke rumah, Rafli benar-benar tidak bisa berkonsentrasi mengendarai motor. Di tiap-tiap detik, Ia selalu teringat kenangan-kenangannya bersama Fitri. Sampai-sampai Rafli hamper menerobos lampu merah di jalan.
Dilihat jalan sudah tidak terlalu ramai, Rafli menambah laju kecepatan motornya, namun dalam keadaan tidak fokus. Tiba-tiba saja muncul sebuah mobil sedan hitam dari pertigaan jalan, sementara Rafli berada tidak jauh lagi dari pertigaan. Sadar mobil itu sudah sangat dekat, Rafli memilih untuk menarik rem secara mendadak, ternyata itu salah.
Rem yang ditariknya benar-benar kuat dan pakem, membuat tubuhnya terlempar dari motor, tetapi tidak menabrak badan mobil, melainkan hingga melewati bagian atas mobil tersebut. Dan tubuh Rafli tebanting ke aspal dengan sangat keras…
“Raf?”
“Apaan?”(menoleh lalu meletakkan ballpoint)
“Kita buat janji, yuk!”
“Hmm… janji? Boleh kok, janji apa?”Tanya Rafli penasaran
“Kita itu satu, dan yang terakhir. Mana kelingkingmu?”(menyodorkan kelingkingnya)
“Satu, dan yang terakhir!”(berbarengan mengucapkan)
….
Satu, dan yang terakhir…
 .
.
.
Rafli membuka matanya. Dimana ini? Luas sekali! Padang rumput ini luas sekali!, batin Rafli. Ia masih teringat terkahir kali ia sedang mengendarai sepeda motor. “Hei, Raf! Mencari siapa?” tegur sebuah suara dari arah belakang. Suara yang sangat familiar di telinga Rafli. Fitri!
Begitu rafli berbalik, Ia melihat seseorang yang sangat dikenalnya. Fitri tentu saja! Ia lebih cantik dari biasanya. Tanpa basa-basi, Rafli langsung memeluk Fitri. Hangat sekali rasanya, seperti ratusan tahun tidak bertemu.
“Kamu kemana aja, Fit? Kamu ninggalin aku.” bisik Rafli pada Fitri yang ada dalam pelukkannya. “Aku nggak kemana-mana kok. Setiap hari aku selalu ikut kamu,” ucap Fitri sambil melepas pelukannya. Rafli terdiam seribu bahasa. Perasaannya bercampur aduk antara senang, sedih, bingung dan sebagainya.
Fitri menatap wajah Rafli. Dilihatnya banyak perubahan tajam pada wajahnya. “Wajahmu Nampak lesu, pucat juga. Ada apa denganmu? Apa yang terjadi selama aku nggak ada?” tanya Fitri.
“Kau tahu? Aku terpuruk sejak kau menghilang. Hariku serasa hambar tanpa hadirmu. Aku kehilangan penyemangat hidupku. Tanpamu semua terasa hampa. Aku merasa sendirian setiap waktu. Kenapa kamu nggak pulang aja? Aku membutuhkanmu dalam hidupku!” jelas Rafli pada Fitri yang sejak tadi memperhatikannya berbicara.
Fitri kembali memeluk Rafli, lebih erat dari sebelumnya. Harum tubuh Fitri yang melebihi wewangian dan parfum dapat tercium oleh Rafli. Semoga ini menjadi selamanya, pinta Rafli dalam batin. Sambil melepas pelukkannya , Fitri berkata, “Sebenarnya aku ingin sekali kembali menemanimu. Tapi..” kalimat fitri terhenti sejenak. “Tapi apa? Kamu cukup ikut aku pulang, itu saja !” kata Rafli sambil menunjuk sebuah pagar besi yang cukup tinggi di ujung hamparan rumput luas.
 “Tapi aku nggak bisa, Raf. Aku harus tetap berada di sini. Aku dan waktuku sudah terikat. Dan itu artinya aku emang nggak bisa pergi dari tempat ini!” jelas Fitri dengan mata berkaca-kaca. Dan akhirnya airmata pun meleleh di pipinya.tanpa berpikir panjang, Rafli berkata,”Ok, kalau begitu aku akan tinggal bersamamu disini.” ucapnya sambil menghapus air mata Fitri dengan kedua telapak tangannya.
“Nggak bisa gitu, Raf!” larang Fitri.
“Lalu aku harus bagaimana? Aku tanpamu bukanlah apa-apa. Kau tahu itu, Fit. Biarkan aku tinggal,” pinta Rafli.
“Nggak bisa, Raf. Kita sekarang udah beda. Aku nggak seperti dulu lagi. Dunia kita udah jauh berbeda sekarang, jelas Fitri.
Rafli gelisah mendengar apa yang diucapkan Fitri.”Lihatlah! kamu masih sama seperti dulu, Fitri. Masih cantik seperti dulu!” Rafli tak mampu lagi berkata-kata.
“Ingatlah cita-cita kita, Raf! Menjadi satu jurusan, satu perguruan tinggi. Kau masih harus meneruskannya. Kau menyayangiku kan? Dengan kamu melanjutkan hidup tanpaku, sudah merupakan wujud kasih sayangmu kepadaku. Percayalah, aku akan bahagia bila melihatmu bahagia,”pinta Fitri pada Rafli.
Rafli hanya mengangguk lesu. Disisi lain, dirinya ingin mengabulkan permintaan kekasihnya itu, namun ia juga ingin tetap tinggal bersama Fitri. Keraguan memenuhi isi hati Rafli.
Tanpa sadar, Fitri sudah menyodorkan kelingkingnya di depan Rafli. Tanpa perintah, Rafli membalas mengaitkan kelingkingnya dengan kelingking Fitri. “Satu, dan yang terakhir,” ucap Fitri diikuti oleh Rafli.
“Teruskanlah cita-citaku bersamamu. Teruskanlah hidupmu tanpaku,” ucap yang makin lama makin menjauh tanpa sepengetahuan Rafli. “Rafli, aku pamit,ya!” ucapan pamit Fitri menyadarkan Rafli dari diamnya. Mengetahui itu semua, Rafli mencoba mengejar Fitri. Tetapi sayangusaha itu sia-sia. Semakin dikejar, Fitri dan bayangannya makin menjauh
“Fit! Tungguin aku!” seru Rafli sambil berlari. Sementara Fitri makin menjauh.
“Aku harus pergi,” ucap Fitri tersenyum pada Rafli.
Rafli masih mengejar-ngejar Fitri  yang makin lama makin tidak terjangkau lagi. Akhirnya Fitri hilang dan Rafli berhenti. Dirinya merasa sangat lelah, degup jantungnya mulai tidak teratur. Ia merasakan sakit yang begitu kuat di dadanya. Nafasnya mulai memendek dan pandangannya kabur. Akankah aku tinggal? Atau kembali? gumamnya dalam hati. Rafli tidak mau tahu apa yang terjadi nanti. Dan tidak lama kemudian, Rafli ambruk. Dam semuanya berakhir…

In the arms of an Angel fly away from here
From this dark cold hotel room, and the endlessness that you feel
You are pulled from the wreckage of your silent reverie
You’re in the arms of an Angel; may you find
Some comfort here…
….
Rafli berhasil hidup kembali. Pertemuanya dengan Fitri merupakan batas antara hidup dan matinya Rafli. Karena pada saat itu, Rafli sudah meninggal selama tiga menit. Tetapi karena dokter di Rumah Sakit itu tahu bahwa peluang untuk Rafli hidup lagi masih ada, berbagai usaha dilakukan untuk memacu jantung Rafli kembali berdetak. Dan akhirnya berhasil.
Kini Rafli masih terbaring di ICU. Karena kecelakaan yang dialaminya sekarang ia disini. Tulang rusuknya retak dan tangannya mengalami patah sendi. Selang-selang infus dan oksigen masih terpasang di badannya. Butuh waktu satu bulan untuk Rafli pulih sepenuhnya,..
“Rafli, aku pamit, ya!”

“Fitri..,” itu yang diucapkan Rafli saat membuka matanya, membuat kedua orang tuanya yang menunggui sejak tadi malam itu, terbangun. Dengan cepat, ibu Rafli menghampirinya. “Alhamdulillah, syukurlah, nak. Kamu sudah sadar. Kami sangat khawatir. Kami hampir kehilangan kamu,” ucap Ibu Rafli  sambil membelai dahi anak semata wayangnya itu. “Ini dimana?,” tanya Rafli pada ayahnya dengan suara lemah. “Ini di rumah sakit, nak. Kamu habis kecelakaan,” jelas ayahnya. Mengetahui itu Rafli langsung melihat ke tangan kirinya yang dirasa kaku dan sakit. Terpasang gips disana. “Ah.. iya,” kata Rafli. “Fitri mana, Yah, Bu? Tadi dia disini,” tanya Rafli pada kedua orang tuanya. Mereka bingung hendak menjawab apa, mereka memandangi satu sama lain, takut kalau-kalau mereka salah menjawab dan membuat anaknya kecewa.
“Nngg… Fitri kan sudah tenang sekarang, nak. Kamu ingat kan?” jelas ibunya dengan sangat lembut. “Tapi..tapi tadi…,” Rafli hendak bicara namun terhenti. Ia teringat kata-kata Dina. Ia tidak boleh menangisi Fitri lagi. Ia harus mengikhlaskan kepergiannya. “…ah sudahlah,” lanjut Rafli sambil memejamkan matanya.”Kamu… tidak apa-apa kan, nak?” tanya ibunya khawatir.”Nggak papa kok,Bu. Oh iya, ponselku dimana ya, Bu? Selamat kan?” tanya Rafli pada ibunya. “ Oh, syukurlah. Ngomong-ngomong, ini ponselmu,” kata ibu Rafli sambil meraih ponsel yang ada diatas meja dan memberikannya. “Kami ingin pulang dulu ke rumah, Ayah juga harus berangkat kerja. Apa kamu mau kami tinggal?” tanya Ayah Rafli. “Nggak papa kok,Yah,” jelas Rafli.”Yasudah, kami pulang dulu, ya! Mungkin nanti Asta dan Dina akan menjengukmu sepulang sekolah. Baik-baik ya!” pamit Ayahnya sambil beranjak pergi dari kamar ICU.
Sepeninggal kedua orang tuanya, Rafli menyalakan ponsel. Foto Fitri langsung  terpampang di layar ponsel Rafli. Itulah yang ingin dilihat Rafli dari ponselnya sejak tadi. Foto yang diambil Rafli saat Fitri sedang berkutat mengerjakan tugas. “Fitri, aku janji, aku janji bikin kamu senang,” ucapnya sambil memandangi potret Fitri. Tanpa sadar, titik-titik air mata meleleh di pipinya…

cause there’ll be no sunlight
If I lose you baby
There’ll be no clear sky
If I lose you baby
Just like the clouds
My eyes will do the same if you walk away

Everyday it’ll rain, rain., rain…
                       
Lima hari kemudian..
Kondisi Rafli semakin semakin pulih, ia sudah bisa duduk sekarang. Mungkin tinggal menunggu beberapa hari lagi ia dapat pulang dan kembali sekolah.
Hari ini, Rafli banyak dijenguk oleh teman sekelasnya, termasuk Dina dan kawan-kawannya. Sekarang Rafli sudah bisa tersenyum kembali. Namun hari ini ada sebuah kejadian yang begitu mengejutkan.
Saat Rafli sedang beristirahat di ruang rawat inap, kedua orang tuanya sudah pulang. “Ck… ternyata bosen juga ya, pengin sekolah… pengen main,” kata Rafli bicara sendiri untuk mengusir keheningan
Suara pintu terbuka membuat Rafli terkejut, dia pikir itu teman yang akan menjenguk,  suster, atau mungkin dokternya.., tapi ternyata…
“Ah… maaf, saya telah salah kamar,” seorang perempuan tak dikenal salah masuk kamar pasien. Dan ini yang membuat Rafli terkejut. Orang ini sama persis dengan Fitri! Dari wajah, badan, semuanya sama!
Rafli terdiam melihat orang ini. Dia mengamati perempuan ini dari atas sampai bawah…”Maaf, Mas. Saya udah salah kamar, saya permisi dulu,” pamit perempuan itu dengan malu-malu. Tapi, saat ia mulai menjauh menuju pintu…
“Eh, tunggu! Ke sini sebentar!” cegah Rafli sambil beranjak dari tempat tidur . Perempuan itu pun kembali.
“Nngg… ada apa ya, Mas?” Tanya perempuan itu bingung.
“Nngg… a… aku Rafli,” ucap Rafli sambil menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan.
“Tia..,” jawab perempuan itu sambil menunduk. Ia benar-benar mirip Fitri! Hanya saja ia mengenakan jilbab.
“Masalah tadi jangan dipikirin… ngomong-ngomong kamu sekolah dimana?” dan percakapan sekaligus perkenalan sore itu berlanjut. Mereka langsung akrab. Bisa tertawa saat cerita, dan bertukar nomor ponsel. Hubungan mereka berlanjut, dsan akhirnya mereka dapat menyatakan perasaan mereka masing-masing. Tentang Fitri, Rafli belum pernah memberi tahu apapun pada Tia. Hubungan mereka pun berjalan lancar dan bertahan lama.
Rafli tidak lupa janjinya pada Fitri. Kini ia berada di jurusan IPA untuk melanjutkan cita-cita mereka berdua. Rafli yang dulu kelam sudah hilang menjadi masa yang terbuang. Sekarang, dengan semangat, senyum dan tawanya yang baru. Ia kembali menjadi Rafli yang sebenarnya.
--FIN--

No comments:

Post a Comment