Satu Dan yang Terakhir
Pagi ini sangat sejuk. Sinar matahari hangat mencuri-curi celah untuk
menembus kabut tipis di jalan. Sungguh hari yang menyenangkan untuk
dijelajahi.
Namun lain di mata orang, lain pula di hati Rafli. Murid kelas satu
SMA ini memandang segalanya suram. Semua karena ia terpaksa mengubur
mimpinya dalam-dalam, yaitu satu jurusan IPA dengan tambatan hatinya
sejak SMP, Fitri. Satu universitas, satu fakultas dan ke depannya,
terpaksa Rafli hapus dari ingatannya. Semua karena kejadian tiga bulan
lalu.
Sejak pagi sampai sekarang, Rafli tidak pernah bisa tenang.
Pikirannya terpusat pada Fitri. Ia dibawa ke Rumah sakit karena penyakit
yang dideritanya makin akut. Rafli terus gelisah. “Kenapa Fitri tidak
pernah memberi tahu padaku masalah penyakitnya?” gumamnya dalam hati.
Dengan raut wajah yang amat resah, Alif melihat Rafli duduk di depan pintu kelas sambil meremas-remas ponselnya.
“Eh, kamu kenapa, Raf? Seperti gigimu mau copot aja”, celetuk Alif
saat melihat Rafli. “Nggak lucu !” ucapnya dengan wajah super datar
tidak seperti biasanya. Alif mulai mencari celah untuk duduk di sisi
kanan Rafli. “Ada apa? Kamu kan bisa cerita!”, tawar Alif.
Rafli tidak menjawabnya, justru memalingkan wajahnya dan
menyembunyikan wajah gelisah yang makin jelas terlihat, bahkan dari jauh
sekalipun.
Getar ponselnya membuat Rafli tersentak. Telepon dari Dina. Ini yang
ditunggunya, karena Dina yang menunggui Fitri di Rumah Sakit sejak pagi.
“Din, Fitri gimana? Keadaannya gimana?”, tanya Rafli begitu
mengangkat telepon. “M…m… maksud kamu apa?”, ucapnya terbata. Alif yang
memperhatikannya semakin khawatir. “Ada apa ini?”
Tiba-tiba saja badan Rafli gemetar. Tanpa komando, ponselnya meluncur
jatuh dari genggamannya. Ia mematung, amat pucat, sepucat tembok.
Airmata tidak dapat dibendung lagi oleh kelopak matanya. Rafli hendak
berdiri, namun sekujur tubuhnya lemas dan Ia jatuh, setelah Dina
mengatakan,
“Raf, Fitri sudah pergi sejam yang lalu. Sabar ya”.
….
Kini, Rafli duduk termangu di bangkunya. Jam masih menunjukkan pukul
06.05 tetapi ia sudah berada di sekolah. Rafli sengaja datang lebih
awal, agar dirinya bisa memandangi bangku Almarhummah Fitri yang berada
dibelakangnya. Membuka memori lalu, dan mengenangnya. Masa-masa saat
mereka menjalani masa orientasi. Ketika kegiatan belajar, saat sedang
jahil contek menyontek.
Namun segalanya telah sirna…
Tanpa sadar, mata tidak dapat menahan gejolak air matanya. Setetes
kerinduan jatuh diatas meja Fitri yang hampa, tepat diatas coretan
coretan “F+R”. Rafli teringat saat dirinya putus asa karena mendapat
nilai jelek dalam ulangan. Fitri selalu menepuk bahu Ralfi dari
belakang, dan selalu berkata, “Semangat dong, Raf… Kok Raflinya cemberut
terus tuh, cakepnya pergi apa ya?”. Bila sudah begitu, senyum pasti
langsung tersungging di wajah Rafli. Namun sekarang, siapa yang selalu
menyemangatinya?
“Kok kamu jadi cengeng?”, suara Dina membuatnya kaget dan sesegera mungkin menghapus air mata dari wajahnya.
“Apa pedulimu?”, sergahnya dengan suara berat namun lirih.
“Begini, kamu tidak boleh terus menerus menangisinya. Sudah berapa
banyak kamu habiskan waktu untuk menangisinya. Kalau begini terus kan
Fitri juga yang susah disana, dia pasti tahu kalo kamu belum
merelekannya pergi.”, jelasnya sambil membujuk Rafli untuk berhenti
menangis.
“Lalu apa urusannya denganmu?”, Rafli mulai geram dan berdiri dari tempat duduknya, membuat Dina kaget.
“Raf ! Aku ini temennya juga! Aku juga kehilangan dia, sama seperti
kamu! Karena aku menyayangi Fitri, Aku tidak akan mempersulitnya, aku
mencoba untuk mengikhlaskan kepergiannya, walau ini sangat berat.
Apalagi kamu yang kekasihnya. Rasa sanyangmu kepadanya pasti begitu
besar, yakan?”, tegasnya pada Rafli.
“Tentu saja! Lantas aku harus apa?”. Rafli lunglai, segalanya yang dikatakan Dina sangat benar.
“Maka cobalah relakan Fitri pergi. Kamu tahu? Bila kamu menangis,
Fitri pun menangis disana. Kau tidak mau ditinggalkannya, Dia pun tidak
ingin meninggalkanmu. Tapi dia sudah punya waktu yang diberi olehNya dan
dia butuh kerelaanmu untuk mebiarkannya pergi. Maka cobalah ikhlaskan,”
pinta Dina pada Rafli.
“Baiklah,”. Rafli terkulai lemas di tempat duduknya.
Tidak ada yang tahu perseteruan pagi itu. Hanya Dina dan Rafli. Ini
semua tergantung pada Rafli. Keikhlasannya sangat dibutuhkan oleh Fitri
sebagai surat izin sah untuk pergi dan tak kembali.
…
“Kalau kelas sebelas nanti kita satu jurusan ya!”
“Memang kamu ingin masuk jurusan apa, Fit?”
“IPA, dong! Biar nanti bisa ambil kedokteran di universitas”
“Wah! Sama dong! Tidak disangka!”
“Kita sehati, ya Raf! Hihihi!”
“Hahahaha, bisa aja kamu!”
….
Dua hari setelah itu, Rafli benar-benar lupa kalau hari ini ada
ulangan Kimia. Begitu lelahnya karena ekstrakurikuler futsal yang
diikutinya kemarin, ia langsung terlelap begitu sampai di rumah. Ia
tidak belajar satu mata pelajaran pun untuk hari ini. Beberapa saat
sebelum ulangan dimulai, Rafli menyempatkan diri untuk membaca sekilas
materi yang akan diujikan. Ia betul-betul pasrah. Ia harus
mengerjakannya dengan usaha yang ia bisa, semaksimal mungkin. Dan
dikerahkanlah tenaga Rafli untuk memngerjakan soal yang super sulit itu.
Dan pada akhirnya selesai juga!
“Ya! Langsung kita cocokkan hari ini. Berhubung saya punya dua jam
pelajaran,” ucap guru Kimia itu saat semua lembar jawab terkumpul. Uh…
sialan!, gumam Rafli didalam hati. Ini akan membuatnya benar-benar
frustasi! Tidak tahu nanti berapa hasil ulangannya. “Pasrah sajalah!”
pikirnya.
Setelah dikoreksi bersama dan dikumpulkannya satu persatu, guru itu membacakan nilainya siswa demi siswa, dan…
“Rafli Pradistya… 92!”, desis-desis pujian dari teman-teman kelas tak
berhenti untuk Rafli karena mendapat nilai yang hampir sempurna. “Hah?
Aku nggak salah denger? Belajar nggak, nyontek juga nggak. Tapi kok bisa
bagus ya?” gumam Rafli gembira seraya bersyukur,”Terima kasih, Ya
Tuhan!”
Ia teringat sesuatu, Fitri. Dan Rafli menoleh ke belakang secara reflex.
“Fit aku…”, kalimat yang hendak diucapkannya terhenti. Rafli baru
ingat, ia biasa memberi tahu Fitri apapun tentang ulangannya. Namun ia
baru sadar bahwa Fitri memang benar-benar tidak ada lagi disana. Rafli
kembali menoleh ke depan dengan lesu dan sedih,dan tersandar lemah
diatas meja. Alif yang duduk satu meja dengan Rafli tidak tega melihat
Rafli kembali sedih. Padahal, belum lama Ia sembuh dari kegalauannya,
sekarang sudah dilanda kesedihan lagi.
“Tidak apa-apa, Fitri pasti senang mendengar kabar gembiramu,”
ucapnya pada Raflisambil menepuk-nepuk kecil bahu Rafli. Rafli menoleh
sebentar ke arah Alif, lalu kembali lagi pada posisi semula.bukannya
membuat Rafli semangat, tetapi justru menambah sedih.
Waktu pulang sekolah pun tiba. Semua keluar dengan wajah gembira
untuk melepas penat dari rutinitas mereka. Namun tidak dengan Rafli.
Gara-gara nilai yang nyaris sempurna didapatnya, Ia kembali teringat
pada Fitri. Dikepalanya hanya bayang-bayang wajah Fitri dan
suara-suaranya yang selalu terngiang-ngiang di telinganya.
“Hei, Raf! Ngelamun aja kerjaanya. Ntar kesambet gimana coba?” tegur
Hanna teman sekelas Rafli. Teguran Hanna tadi memang membuat rafli
kaget. Tapi tidak cukup kuat untuk menyadarkan Rafli dari lamunannya. Ia
tetap pada posisinya.”Hei, nilaimu bagus bener. Tapi kenapa kamu tekuk
wajahmu itu? ” Tanya Hanna heran. Rafli hanya membalas dengan senyuman
yang dipaksakan muncul diantara wajah sedihnya.
“Hmm.. ya sudahlah. Aku duluan, ya! Daah!” seru Hanna sambil menjauh mendahului Rafli.
….
“Bagus bener nilaimu, Raf! Ajarin aku dong !”
“Ahh… aku saja tidak bisa , kau ini…”
“Tidak bisa dari HongKong? Nilaimu saja jauh lebih tinggi dariku. Ayolah ,Raf ajarin aku!”
“Hahahaha iya deh aku ajarin.”
….
Dalam perjalanan ke rumah, Rafli benar-benar tidak bisa
berkonsentrasi mengendarai motor. Di tiap-tiap detik, Ia selalu teringat
kenangan-kenangannya bersama Fitri. Sampai-sampai Rafli hamper
menerobos lampu merah di jalan.
Dilihat jalan sudah tidak terlalu ramai, Rafli menambah laju
kecepatan motornya, namun dalam keadaan tidak fokus. Tiba-tiba saja
muncul sebuah mobil sedan hitam dari pertigaan jalan, sementara Rafli
berada tidak jauh lagi dari pertigaan. Sadar mobil itu sudah sangat
dekat, Rafli memilih untuk menarik rem secara mendadak, ternyata itu
salah.
Rem yang ditariknya benar-benar kuat dan pakem, membuat tubuhnya
terlempar dari motor, tetapi tidak menabrak badan mobil, melainkan
hingga melewati bagian atas mobil tersebut. Dan tubuh Rafli tebanting ke
aspal dengan sangat keras…
“Raf?”
“Apaan?”(menoleh lalu meletakkan ballpoint)
“Kita buat janji, yuk!”
“Hmm… janji? Boleh kok, janji apa?”Tanya Rafli penasaran
“Kita itu satu, dan yang terakhir. Mana kelingkingmu?”(menyodorkan kelingkingnya)
“Satu, dan yang terakhir!”(berbarengan mengucapkan)
….
Satu, dan yang terakhir…
.
.
.
Rafli membuka matanya. Dimana ini? Luas sekali! Padang rumput ini
luas sekali!, batin Rafli. Ia masih teringat terkahir kali ia sedang
mengendarai sepeda motor. “Hei, Raf! Mencari siapa?” tegur sebuah suara
dari arah belakang. Suara yang sangat familiar di telinga Rafli. Fitri!
Begitu rafli berbalik, Ia melihat seseorang yang sangat dikenalnya.
Fitri tentu saja! Ia lebih cantik dari biasanya. Tanpa basa-basi, Rafli
langsung memeluk Fitri. Hangat sekali rasanya, seperti ratusan tahun
tidak bertemu.
“Kamu kemana aja, Fit? Kamu ninggalin aku.” bisik Rafli pada Fitri
yang ada dalam pelukkannya. “Aku nggak kemana-mana kok. Setiap hari aku
selalu ikut kamu,” ucap Fitri sambil melepas pelukannya. Rafli terdiam
seribu bahasa. Perasaannya bercampur aduk antara senang, sedih, bingung
dan sebagainya.
Fitri menatap wajah Rafli. Dilihatnya banyak perubahan tajam pada
wajahnya. “Wajahmu Nampak lesu, pucat juga. Ada apa denganmu? Apa yang
terjadi selama aku nggak ada?” tanya Fitri.
“Kau tahu? Aku terpuruk sejak kau menghilang. Hariku serasa hambar
tanpa hadirmu. Aku kehilangan penyemangat hidupku. Tanpamu semua terasa
hampa. Aku merasa sendirian setiap waktu. Kenapa kamu nggak pulang aja?
Aku membutuhkanmu dalam hidupku!” jelas Rafli pada Fitri yang sejak tadi
memperhatikannya berbicara.
Fitri kembali memeluk Rafli, lebih erat dari sebelumnya. Harum tubuh
Fitri yang melebihi wewangian dan parfum dapat tercium oleh Rafli.
Semoga ini menjadi selamanya, pinta Rafli dalam batin. Sambil melepas
pelukkannya , Fitri berkata, “Sebenarnya aku ingin sekali kembali
menemanimu. Tapi..” kalimat fitri terhenti sejenak. “Tapi apa? Kamu
cukup ikut aku pulang, itu saja !” kata Rafli sambil menunjuk sebuah
pagar besi yang cukup tinggi di ujung hamparan rumput luas.
“Tapi aku nggak bisa, Raf. Aku harus tetap berada di sini. Aku dan
waktuku sudah terikat. Dan itu artinya aku emang nggak bisa pergi dari
tempat ini!” jelas Fitri dengan mata berkaca-kaca. Dan akhirnya airmata
pun meleleh di pipinya.tanpa berpikir panjang, Rafli berkata,”Ok, kalau
begitu aku akan tinggal bersamamu disini.” ucapnya sambil menghapus air
mata Fitri dengan kedua telapak tangannya.
“Nggak bisa gitu, Raf!” larang Fitri.
“Lalu aku harus bagaimana? Aku tanpamu bukanlah apa-apa. Kau tahu itu, Fit. Biarkan aku tinggal,” pinta Rafli.
“Nggak bisa, Raf. Kita sekarang udah beda. Aku nggak seperti dulu lagi. Dunia kita udah jauh berbeda sekarang, jelas Fitri.
Rafli gelisah mendengar apa yang diucapkan Fitri.”Lihatlah! kamu
masih sama seperti dulu, Fitri. Masih cantik seperti dulu!” Rafli tak
mampu lagi berkata-kata.
“Ingatlah cita-cita kita, Raf! Menjadi satu jurusan, satu perguruan
tinggi. Kau masih harus meneruskannya. Kau menyayangiku kan? Dengan kamu
melanjutkan hidup tanpaku, sudah merupakan wujud kasih sayangmu
kepadaku. Percayalah, aku akan bahagia bila melihatmu bahagia,”pinta
Fitri pada Rafli.
Rafli hanya mengangguk lesu. Disisi lain, dirinya ingin mengabulkan
permintaan kekasihnya itu, namun ia juga ingin tetap tinggal bersama
Fitri. Keraguan memenuhi isi hati Rafli.
Tanpa sadar, Fitri sudah menyodorkan kelingkingnya di depan Rafli.
Tanpa perintah, Rafli membalas mengaitkan kelingkingnya dengan
kelingking Fitri. “Satu, dan yang terakhir,” ucap Fitri diikuti oleh
Rafli.
“Teruskanlah cita-citaku bersamamu. Teruskanlah hidupmu tanpaku,”
ucap yang makin lama makin menjauh tanpa sepengetahuan Rafli. “Rafli,
aku pamit,ya!” ucapan pamit Fitri menyadarkan Rafli dari diamnya.
Mengetahui itu semua, Rafli mencoba mengejar Fitri. Tetapi sayangusaha
itu sia-sia. Semakin dikejar, Fitri dan bayangannya makin menjauh
“Fit! Tungguin aku!” seru Rafli sambil berlari. Sementara Fitri makin menjauh.
“Aku harus pergi,” ucap Fitri tersenyum pada Rafli.
Rafli masih mengejar-ngejar Fitri yang makin lama makin tidak
terjangkau lagi. Akhirnya Fitri hilang dan Rafli berhenti. Dirinya
merasa sangat lelah, degup jantungnya mulai tidak teratur. Ia merasakan
sakit yang begitu kuat di dadanya. Nafasnya mulai memendek dan
pandangannya kabur. Akankah aku tinggal? Atau kembali? gumamnya dalam
hati. Rafli tidak mau tahu apa yang terjadi nanti. Dan tidak lama
kemudian, Rafli ambruk. Dam semuanya berakhir…
In the arms of an Angel fly away from here
From this dark cold hotel room, and the endlessness that you feel
You are pulled from the wreckage of your silent reverie
You’re in the arms of an Angel; may you find
Some comfort here…
….
Rafli berhasil hidup kembali. Pertemuanya dengan Fitri merupakan
batas antara hidup dan matinya Rafli. Karena pada saat itu, Rafli sudah
meninggal selama tiga menit. Tetapi karena dokter di Rumah Sakit itu
tahu bahwa peluang untuk Rafli hidup lagi masih ada, berbagai usaha
dilakukan untuk memacu jantung Rafli kembali berdetak. Dan akhirnya
berhasil.
Kini Rafli masih terbaring di ICU. Karena kecelakaan yang dialaminya
sekarang ia disini. Tulang rusuknya retak dan tangannya mengalami patah
sendi. Selang-selang infus dan oksigen masih terpasang di badannya.
Butuh waktu satu bulan untuk Rafli pulih sepenuhnya,..
“Rafli, aku pamit, ya!”
…
“Fitri..,” itu yang diucapkan Rafli saat membuka matanya, membuat
kedua orang tuanya yang menunggui sejak tadi malam itu, terbangun.
Dengan cepat, ibu Rafli menghampirinya. “Alhamdulillah, syukurlah, nak.
Kamu sudah sadar. Kami sangat khawatir. Kami hampir kehilangan kamu,”
ucap Ibu Rafli sambil membelai dahi anak semata wayangnya itu. “Ini
dimana?,” tanya Rafli pada ayahnya dengan suara lemah. “Ini di rumah
sakit, nak. Kamu habis kecelakaan,” jelas ayahnya. Mengetahui itu Rafli
langsung melihat ke tangan kirinya yang dirasa kaku dan sakit. Terpasang
gips disana. “Ah.. iya,” kata Rafli. “Fitri mana, Yah, Bu? Tadi dia
disini,” tanya Rafli pada kedua orang tuanya. Mereka bingung hendak
menjawab apa, mereka memandangi satu sama lain, takut kalau-kalau mereka
salah menjawab dan membuat anaknya kecewa.
“Nngg… Fitri kan sudah tenang sekarang, nak. Kamu ingat kan?” jelas
ibunya dengan sangat lembut. “Tapi..tapi tadi…,” Rafli hendak bicara
namun terhenti. Ia teringat kata-kata Dina. Ia tidak boleh menangisi
Fitri lagi. Ia harus mengikhlaskan kepergiannya. “…ah sudahlah,” lanjut
Rafli sambil memejamkan matanya.”Kamu… tidak apa-apa kan, nak?” tanya
ibunya khawatir.”Nggak papa kok,Bu. Oh iya, ponselku dimana ya, Bu?
Selamat kan?” tanya Rafli pada ibunya. “ Oh, syukurlah. Ngomong-ngomong,
ini ponselmu,” kata ibu Rafli sambil meraih ponsel yang ada diatas meja
dan memberikannya. “Kami ingin pulang dulu ke rumah, Ayah juga harus
berangkat kerja. Apa kamu mau kami tinggal?” tanya Ayah Rafli. “Nggak
papa kok,Yah,” jelas Rafli.”Yasudah, kami pulang dulu, ya! Mungkin nanti
Asta dan Dina akan menjengukmu sepulang sekolah. Baik-baik ya!” pamit
Ayahnya sambil beranjak pergi dari kamar ICU.
Sepeninggal kedua orang tuanya, Rafli menyalakan ponsel. Foto Fitri
langsung terpampang di layar ponsel Rafli. Itulah yang ingin dilihat
Rafli dari ponselnya sejak tadi. Foto yang diambil Rafli saat Fitri
sedang berkutat mengerjakan tugas. “Fitri, aku janji, aku janji bikin
kamu senang,” ucapnya sambil memandangi potret Fitri. Tanpa sadar,
titik-titik air mata meleleh di pipinya…
‘cause there’ll be no sunlight
If I lose you baby
There’ll be no clear sky
If I lose you baby
Just like the clouds
My eyes will do the same if you walk away
Everyday it’ll rain, rain., rain…
Lima hari kemudian..
Kondisi Rafli semakin semakin pulih, ia sudah bisa duduk sekarang.
Mungkin tinggal menunggu beberapa hari lagi ia dapat pulang dan kembali
sekolah.
Hari ini, Rafli banyak dijenguk oleh teman sekelasnya, termasuk Dina
dan kawan-kawannya. Sekarang Rafli sudah bisa tersenyum kembali. Namun
hari ini ada sebuah kejadian yang begitu mengejutkan.
Saat Rafli sedang beristirahat di ruang rawat inap, kedua orang
tuanya sudah pulang. “Ck… ternyata bosen juga ya, pengin sekolah… pengen
main,” kata Rafli bicara sendiri untuk mengusir keheningan
Suara pintu terbuka membuat Rafli terkejut, dia pikir itu teman yang
akan menjenguk, suster, atau mungkin dokternya.., tapi ternyata…
“Ah… maaf, saya telah salah kamar,” seorang perempuan tak dikenal
salah masuk kamar pasien. Dan ini yang membuat Rafli terkejut. Orang ini
sama persis dengan Fitri! Dari wajah, badan, semuanya sama!
Rafli terdiam melihat orang ini. Dia mengamati perempuan ini dari
atas sampai bawah…”Maaf, Mas. Saya udah salah kamar, saya permisi dulu,”
pamit perempuan itu dengan malu-malu. Tapi, saat ia mulai menjauh
menuju pintu…
“Eh, tunggu! Ke sini sebentar!” cegah Rafli sambil beranjak dari tempat tidur . Perempuan itu pun kembali.
“Nngg… ada apa ya, Mas?” Tanya perempuan itu bingung.
“Nngg… a… aku Rafli,” ucap Rafli sambil menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan.
“Tia..,” jawab perempuan itu sambil menunduk. Ia benar-benar mirip Fitri! Hanya saja ia mengenakan jilbab.
“Masalah tadi jangan dipikirin… ngomong-ngomong kamu sekolah dimana?”
dan percakapan sekaligus perkenalan sore itu berlanjut. Mereka langsung
akrab. Bisa tertawa saat cerita, dan bertukar nomor ponsel. Hubungan
mereka berlanjut, dsan akhirnya mereka dapat menyatakan perasaan mereka
masing-masing. Tentang Fitri, Rafli belum pernah memberi tahu apapun
pada Tia. Hubungan mereka pun berjalan lancar dan bertahan lama.
Rafli tidak lupa janjinya pada Fitri. Kini ia berada di jurusan IPA
untuk melanjutkan cita-cita mereka berdua. Rafli yang dulu kelam sudah
hilang menjadi masa yang terbuang. Sekarang, dengan semangat, senyum dan
tawanya yang baru. Ia kembali menjadi Rafli yang sebenarnya.
--FIN--
No comments:
Post a Comment