Editor : Aulia Dini a.k.a Dirjo
Selamat membaca~
Beberapa
mengatakan bahwa ada suatu sekat tak kasat mata yang memisahkan banyak hal di
dunia ini. Sering kita dengar perihal cinta dan benci yang sama sekali tidak
ada bedanya, atau mereka dipisahkan oleh suatu membran semi permeabel sehingga
keduanya bisa bersentuhan secara tak langsung. Ini juga berlaku pada setiap hal
yang berbeda di dunia ini.
Tapi,
siapa bilang sekat-sekat itu hanya dijumpai dalam masalah kehidupan saja? Tepat
dibawah kaki kita hidup makhluk ciptaan Tuhan yang jarang diketahui perwujudannya.
Hahaha.
Aku tidak berbicara tentang kehidupan yang sama seperti kita. Ini sesuatu yang
lain. Yang tidak pernah kita sadari namun kita mengetahuinya. Dan telah ada
sebuah kisah yang memperkuat keberadaannya.
Malaikat.
Ada banyak
macam dari malaikat yang tersebar di seluruh dunia. Sepuluh dari sekian juta
atau bahkan triliunan telah kita ketahui. Aku akan menceritakan kisah dimana
mereka pernah diketahui selalu dekat dengan manusia.
....
Pagi hari
yang sejuk dan berkabut. Semua orang selalu memperkirakan setelah ini akan
bercuaca panas. Hanya saja perkiraan mereka selalu berubah menjadi mimpi busuk
yang tak pernah terkabul pada akhirnya. Berketinggian sedang dan dekat dengan
gunung, tumbuhlah sebuah kota kecil yang bernama Hasseltown. Matahari memang
kerap muncul untuk menyinari kota ini, akan tetapi sinar itu hanya berlaku
seperti lampu penerangan saja. Tak terasa hangat sama sekali di kulit. Kalaupun
sedang mencapai cuaca terpanas itu hanya membuat wajah kita hangat.
Walaupun
kota ini tidak seluas London atau kota lainnya, Hasseltown adalah kota yang
maju. Bukan kota kecil tradisional seperti yang dipikirkan banyak orang.
Standar kehidupan mereka sudah sama baiknya dengan kota metropolitan lainnya,
tetapi lingkungan mereka tetap asri dan menyejukkan, tanpa polusi udara yang berlebih dan kemacetan luar biasa.
Pagi di
Hasseltown adalah pagi yang lumayan sibuk. Hasseltown memiliki tiga sekolah
yaang cukup diminati masyarakatnya, salah satunya adalah Midwich High School.
Mereka juga memiliki pusat kota yang menjadi pusat kegiatan Hasseltown. Disebut
dengan Magenta Town Building. Memang bangunan yang tidak besar dan tinggi
seperti gedung pencakar langit, tapi cukup lebar untuk menampung seribu orang
dan didalamnya terdapat banyak sekali kegiatan.
Terlepas dari
kegiatan mereka, mari kita menengadahkan kepala ke langit. Nun jauh
diketinggian gedung, terkembang sepasang sayap yang tidak pernah bisa diketahui
manusia. Sayap bersih tak bernoda, kelabu namun tak gelap, besar namun tak
mengerikan. Mereka tidak hanya satu, tapi ada di sekeliling kita. Karena apa
yang masyarakat Hasseltown punya tidak lepas dari rezeki Tuhan yang mengalir
lewat sayap-sayap itu.
Tetapi
bukan hanya rezeki yang mereka antar, kematian juga bersama sayapnya.
Karena
umur dan rezeki serta musibah hanya Tuhan yang tahu. Sayap-sayap itu adalah
penghantarnya, tentu saja malaikat tidak pernah tahu apa-apa mengenai masalah
itu. Mereka hanya melakukan perintah Tuhan yang mengatur seluruh jagat raya
ini.
Namun,
salah satu dari mereka terlihat diam, hanya duduk dan tidak melakukan apa-apa.
Merasakan kebosanan yang sulit untuk dideskripsikan. Sayap berwarna hitam yang
memancarkan arti penuh ambigu[m1] . Tongkat kayu yang renta di tangan
kirinya.
Kematian
adalah urusannya.
Dia adalah
penjaga Hasseltown dalam hal cabut mencabut nyawa. Sayangnya, kematian di
Hasseltown jarang terjadi. Jikalau ada itu pun kematian normal yang terjadi
pada orang tua yang memang sudah dekat waktunya dengan kematian. Sekarang atau
beberapa minggu kemudian, ia takkan bertugas. Ia menggulung lengan pakaiannya
yang panjang. Melihat permukaan kulit tangannya. Tidak ada guratan-guratan nama
dan waktu beberapa manusia yang akan dicabutnya. Tulisan-tulisan itu biasanya
adalah jadwal pekerjaannya. Mereka akan muncul disertai ingatan terakhir korban yang
melintasi benaknya sehingga ia bisa langsung mengetahuinya.[m2]
Memecah
kebosanan yang sedari tadi merangkulnya, ia berkata “Apa yang harus kulakukan
pada saat-saat seperti ini? Ini sungguh sangat membosankan. Apa yang kulihat
pada manusia selalu itu-itu saja. Nama dan tanggal kematian selalu berputar
diatas kepalanya. Tapi itu masih sangat lama. Benar-benar...” belum selesai ia
mengoceh sendiri, hal gila terbesit dalam pikirannya.
“Mengapa
aku tidak mencoba untuk lebih dekat dengan manusia?” ucapnya dengan girang.
Akan
tetapi kegirangannya tidak bertahan lama setelah malaikat lain mendengar
perkataannya. Sayap putih bersih muncul bagai tirai yang menghiasi tubuhnya
Wujudnyabercahaya dan pakaian rapi yang melengkapi penampilannya[m3] .
“Akan ada
konsekuensi dari perbuatanmu, Masson[m4] !” suara berat yang menggelegar
mengagetkan si malaikat kematian yang bernama Masson itu. “Selama kau menyamar
menjadi manusia atau wujud lainnya kau harus tetap berbakti pada Tuhan dan
melaksanakan pekerjaanmu. Kalau kau melanggar semuanya, kau akan dikutuk
menjadi sosok dari samaranmu!” lanjutnya.
Setelah
menyelesaikan peringatannya, ia menghilang. Perkataan rekannya tadi membuat Masson berpikir dua kali
untuk melakukan itu. Namun karena ketertarikannya pada manusia ia pada akhirnya
memutuskan untuk melakukannya.
Ia bangkit
dari duduknya, berdiri dan bermeditasi. Seketika cahaya berwarna merah ada
disekelilingnya. Langit meredup dan turun hujan. Cahaya-cahaya itu mulai
mengelilingi Masson. Semakin cepat dan semakin cepat, cahaya itu hampir
menutupi tubuh Masson. Ia mengerang dan semua cahaya merah itu menutupi
tubuhnya dan berputar makin cepat. Ledakan terdengar seperti suara guntur yang
menyambar. Kilat merah menyambar atap gedung
itu dan semuanya usai. Badai hebat selama tiga menit itu berakhir dan cuaca
berubah membaik. Matahari yang dingin kembali menyinari Hasseltown. Masyarakat
sekitar sempat bingung karena kotanya tidak pernah dilanda hujan yang sekedar
lewat seperti ini. namun mereka mengacuhkan itu dan kembali ke pekerjaan
masing-masing.
Masson
tergeletak lemah di atap edung itu. Basah, dingin, dan tanpa busana. Sayapnya
telah lenyap dan tongkatnya menghilang. Masson sedikit linglung dan terguncang.
Ia merasa seperti benar-benar menjadi manusia. Namun akal sehatnya mulai
kembali dan menyadari bahwa dia telah melakukan apa yang dia inginkan.
“Sialan,
dingin sekali. Aku butuh baju sekarang juga” ucapnya menggigil. Iabangkit dan
melihat sekitar. Ada gudang di pojok sana. Ia mati-matian mendobrak pintu sampai
terbuka. Ia melihat seisi gudang itu, mencari apa yang bisa ia pakai.
Masson
turun dan keluar dari gedung tersebut. Untung saja ada pakaian pas yang ia
temukan digudang. Langkah pertamanya di bumi sebagai manusia membuatnya
teringat satu hal, “Astaga, apa aku harus memulainya dari nol? Aku lupa kalau
sekarang aku sedang menyamar menjadi manusia” katanya sambil menepuk dahi.
Sekali
lagi, sosok manusia yang dimilikinya sudah memanusiakan dirinya. Sampai lupa
kalau dia adalah malaikat. Punya kekuatan dan keajaiban. Ia mulai mencoba-coba mengetes kekuatannya. Masson mencari objek
sederhana untuk bahan percobaanya. Masson menemukan pohon yang layu, ia mulai
mengerjakannya. “Kembali sehat!” bisiknya sambil menatap tajam pohon itu.
Seketika daun-daunan hijau menghiasi ranting kering itu dan semuanya berubah
rindang. Sampai-sampai mengejutkan orang yang sedang duduk di bangku taman bawah
pohon.
Ya, dia
bisa.
“Aku butuh
sejumlah uang sekarang” ucapnya sambil menatap tajam telapak tangannya dan
muncul kartu kredit dan uang tunai sejumlah $2000. “Aku juga butuh identitas
baru, paspor, kartu tanda penduduk, dan ponsel” ucapnya dan sekali lagi semua
muncul begitu saja. Ia segera pergi ke supermarket dan toko pakaian terdekat.
Menarik
koper yang berisi pakaian dan makanan kaleng yang baru saja dibelinya, ia
berjalan menyusuri satu kompleks rumah. Kompleks yang lumayan sepi. Setahu
Masson, ini bukan hari libur dan ini masih pukul sembilan pagi. Ia merogoh kantongnya dan
memperhatikan kartu identitas barunya. Ernest North, 281 Elmore Street,
Hasseltown, March, 21, 1996. Foto itu bukan wajahnya.
Foto itu
bukan wajahku? Batinnya.
Dengan
terburu-buru Masson mengambil ponsel di kantong celananya dan berkaca. “What
the... wajahku pun ikut berubah? Apa-apaan...” ia terkaget dan sedikit lemas.
Ia hadir dengan tubuh berumur 18 tahun, remaja dengan wajah asiatis berkulit
sawo matang dan rambut warna hitam. Ia mengamati tubuh barunya, “ Lumayan, ini
lebih baik dari tubuh jangkung yang sebelumnya” ujarnya bangga sambil
menepuk-nepuk perutnya.
Alamat
telah ditemukan, ia terpaksa harus mondar mandir untuk mengurutkan nomor rumah
dari awal. Dan yang ditemukannya hanya tanah kosong. “Astaga! Apa aku harus
tidur diatas tanah? Aku butuh rumah” ucapnya dan sekali lagi terwujud. Cahaya
merah datang dari telapak tangannya dan terbang menuju tanah kosong itu. Mereka
mulai berputar-putar disana. Dalam hitungan menit, rumah sederhana memenuhi
tanah kosong itu. Rumah dengan cat warna hitam. Semuanya serba hitam. Taman
yang dihiasi mawar hitam yang cantik. Sempurna, pikirnya. Masson melangkah
masuk kedalam rumahnya.
Jam antik
dengan ornamen emas yang terlihat mahal menunjukkan pukul tujuh malam. Masson
baru saja selesai mandi dan mulai menyiapkan makanan. Rumahnya memang kecil,
tapi karena ia sendirian segalanya terasa hening. Masson menyalakan televisi
dengan volume agak keras dan menuju ke dapur. “Kehidupan manusia sangat
merepotkan, aku harus belajar menjadi Ernest North” ujarnya dengan wajah
serius. Baru saja ia membuka kulkas, bel pintu rumah berbunyi. Celakanya, ia
belum siap berinteraksi dengan tetangga atau orang lainnya. “Tunggu sebentar!”
seru Masson.
“Halo
tetangga baru! Aku Sebastian White dan ini istriku Mandy. Apa kau baru disini?”
ucap seorang pria berangka 30-an dengan tubuh lumayan tinggi begitu Masson
membuka pintu. Masson hanya bisa melongo dan grogi. “A..aku Ernest. Ernest
North. Errr... Mari masuk! Silahkan duduk!”. Setelah mereka masuk, Masson pamit
ke ruang dapur untuk membuatkan mereka minum.
Sekarang,
Masson harus dipanggil dengan nama Ernest. Dan Masson juga harus mengingat
bahwa dia sekarang adalah Ernest. Perbincangan mereka pun dimulai, mulai dari
bertanya darimana Ernest berasal, apa tujuannya datang ke Hasseltown, dan
parahnya keluarga White hanya mengetahui bahwa dua minggu sebelumnya tidak ada
rumah yang berdiri di tanah kosong yang tak pernah laku ini. Ernest harus
mengarang cerita bahwa dalam dua minggu itulah ada konstruksi kecil disini.
Paman Ernest yang tinggal di Filipina sengaja membelikan tanah untuk tempat
tinggal keponakannya itu demi meneruskan tahun terakhir SMA nya dan meneruskan
pendidikan ke perguruan tinggi. Pada akhirnya ia meminta bantuan kepada
keluarga White untuk mengurus masalah sekolah. Untunglah keluarga White berbaik hati dan mau
membantunya mengenai masalah itu.
Pukul
delapan tuan dan nyonya White kembali kerumahnya. Ernest meminta tolong mereka kembali besok untuk membantunya. Sementara itu ia harus bekerja
keras memikirkan dan mencari sumber seperti apa surat pindah sekolah, rapor dan
surat sekolah di Filipina sehingga ia bisa mengarangnya.
Keesokan
harinya pukul sembilan pagi, Nyonya White kembali ke rumah Ernest untuk melihat
surat-surat yang ‘sebenarnya’ Ernest buat sendiri. Kemudian dengan senang hati
Nyonya White menjelaskan bagaimana untuk mendaftar sekolah dan seperti apa
model belajar di Eropa ini. Sebenarnya, Nyonya White kasihan dengan Ernest yang ‘terlihat’ seperti dibiarkan orang tuanya ke luar negeri begitu jauh tanpa arahan
dan pengawasan. Nyonya White sebelumnya memiliki anak yang sebaya dengan
Ernest, namun sekarang telah meninggal dunia akibat kecelakaan fatal saat
melakukan pendakian gunung. Hal
itu membuatnya ingin membantu Ernest yang sedikit mengingatkannya akan almarhum anaknya.Selesai memberi arahan sekolah pada
Ernest, Nyonya White membawa Ernest menuju Midwich High School, yang sebenarnya
sudah diketahui oleh Ernest sebagai sekolah paling diminati disana dari
pengamatan yang dilakukannya ketika ia biasa melakukan tugasnya.
Sesampainya
di sekolah ia langsung menuju resepsionis dan diarahkan untuk menuju ruang
administrasi. Pendaftaran memakan waktu cukup lama karena bertepatan dengan
tahun ajaran baru. Ernest
beruntung, karena awal tahun juga merupakan awal yang baik untuk berbaur
diantara manusia.[m5]
“Ini kartu
anggotamu, jadwal kelas, ini denah sekolah dan juga beberapa buku pelajaran
yang wajib dimiliki, dan ini bukti pembayaran uang gedungnya. Selamat datang di
Midwich. Semoga kau cepat kerasan di sekolah” ucap wanita berumur 40-an dengan
dandanan agak menor, tetapi ia sangat ramah dimata Ernest. “Kembalilah hari
Senin besok. Kau masih punya banyak waktu untuk mempersiapkan semuanya” lanjut
wanita itu.
Dalam
beberapa hari menuju tahun ajaran baru, Ernest belajar keras agar tidak terlalu
bodoh saat masuk nanti. Ia juga sengaja membeli buku referensi lain yang
mencakup previous knowledge dari
buku-buku pelajaran yang di terimanya pada saat pendaftaran. “Otak manusia
memang luar biasa. Pelajaran seperti ini masih bisa mereka telan” ujar Ernest
kewalahan. Buku-buku yang tadinya masih rapi dan berbungkus plastik, dalam
beberapa hari langsung berubah menjadi kusut dan lusuh karena banyak
coret-coretan disana sini. Tak lupa Ernest atau [m6] (Masson) [m7] berdoa pada Tuhan agar ia diberi
petunjuk dalam kehidupan manusianya.
Hari senin
yang ditentukan tiba. Sudah saatnya masuk sekolah. Ernest diantar oleh Tuan
White di hari pertamanya itu. Menjadi siswa di Midwich tidak seperti yang
Ernest kira sebelumnya. Dalam pandangannya Midwich adalah sekolah favorit yang
pastinya sangat terjaga perilakunya. Kenyataannya, banyak geng yang ada disana. Yang suka dengan kecantikan, yang
selalu membawa gadget mewah, anak-anak kaya raya, yang tersingkir, kutu buku
dan masih banyak lagi. Secara pribadi mungkin Ernest akan memilih orang-orang
‘tersingkir’ karena ia masih baru dan susah akrab dengan manusia. Semua membuat
Ernest sakit kepala, ia segera mencari kelasnya.
Kelas
pertamanya adalah matematika
kalkulus kelas 3[m8] . Pelajaran yang baru ia pelajari
semalam. Ernest dapat bernapas lega karena ia tidak akan terlihat bodoh dalam
kegiatan belajar nanti. Saat melangkah memasuki kelas, keringat dingin mengalir
begitu saja. Ernest benar-benar belum siap berinteraksi dengan banyak manusia,
apalagi dengan matanya yang tetap bekerja seperti mata malaikat. Nama dan angka
kematian sudah berkeliling diatas kepala [m9] mereka. Bagusnya ini membantu
perkenalan Ernest dengan lainnya.
Ernest
mencari tempat duduk kosong. Kursi kedua dari belakang. Mata banyak tertuju
padanya karena Ernest, anak asia yang belum pernah dilihat bisa muncul begitu
saja di Midwich. Bukan tatapan penasaran, tapi tatapan heran dan bingung.
Memang populasi orang Asia di Hasseltown tidak sampai 50 orang, apalagi yang
sampai bersekolah di Midwich. Wajar saja, batin Ernest.
Saat guru
pengampu masuk, semua murid juga sudah duduk di bangku masing-masing. Menurut
apa yang dilihat Ernest, namanya adalah Luna Cedrac. Bu Cedrac mengawali
pertemuan dengan menyambut beberapa murid baru. Ternyata bukan hanya Ernest
yang baru di Midwich. Ada Olive yang pindah dari Candle High School, dan Sam
Rankins yang mengaku hanya singgah di Hasseltown sekaligus menyelesaikan SMA
nya. Mereka berdua duduk berjauhan dari Ernest.
Pelajaran
berlangsung lancar. Ernest juga mampu mengikuti pelajaran itu dengan baik.
Bahkan kuis pertamanya di dunia manusia mendapat skor 94. Tanpa terasa
kelas itu berjalan dengan cukup cepat. Bel berbunyi dan sudah saatnya ganti pelajaran. Saat Ernest
sedang merapikan buku-bukunya. Dua anak menghampirinya, satu pria dan satu
wanita dan mereka memulai pembicaraan terlebih dahulu.
“Kau
berasal dari Filipina? Unbelieveable!” ujar si pria yang bertubuh gempal. “Aku Danny, dan ini Rose” lanjutnya
sambil mengenalkan perempuan di sampingnya.
“Hai
Ernest. Hmmmm kau seksi juga” ujar perempuan itu sedikit genit. Danny mentoyor [m10] kepala Rose yang kegenitan itu dan mereka bertiga tertawa. “Hei kalian
berdua, jangan diam saja, bergabunglah dengan kami” ujar Danny mengajak dua
anak baru yang dikenalkan Bu Luna
bersama Ernest tadi.
Tidak
seperti dugaan-dugaan Ernest yang negatif, ada manusia yang ramahnya sangat
tersirat. Kelihatannya saja menyebalkan atau jutek, tetapi apabila sudah
mengenalnya mereka akan menunjukkan kebaikan yang sebenarnya dia miliki.
Seperti dua teman pertamanya ini.
Rose,
Danny, Olive, Sam dan Ernest berjalan bersama-sama menyusuri setiap sudut
sekolah. Rose dan Danny sedang berperan sebagai ‘friendly school guide’ disini.
Mereka berdua menunjukkan ruangan, tempat beserta fungsinya. Hal mengasyikkan
dari Midwich pun tak luput disampaikannya. Kemudian mereka berpencar untuk
mengetahui lebih banyak. Sam dan Olive ikut bersama Danny, dan Ernest pergi
bersama Rose.
Saat Rose
sedang asyik berbicara panjang lebar tentang Midwich, tak sengaja Ernest mendapati seorang laki-laki yang tampaknya
sangat dikenal di Midwich. “Rose, siapa anak itu? Kelas tiga juga?” tanya
Ernest.
“Oh, anak itu” jawab Rose dengan nada benci, “Namanya adalah
Dylan. Dylan Clearwater[m11] . Entah harus mulai dari mana aku menjelaskan tentang anak menyebalkan
itu. Hmm, dia adalah anak salah satu pengusaha restoran di Magenta. Kalau boleh
kukatakan, keluarganya cukup memadai, berkecukupan. Seharusnya kedisiplinan dan
kesopanannya terjaga. Akan tetapi dia sering melakukan bullying pada anak-anak baru yang lemah disini” jelas Rose dengan
nada setengah hati karena ia juga tidak menyukainya
“Dan dua
anak itu? Apakah anak buahnya?” lanjut Ernest.
“Ya, Dylan
seperti queen bee disana, maksudku king bee. Mereka bertingkah sok penguasa di Midwich” jelas Rose
lagi.
Tapi
dimata Ernest atau Masson, Dylan memiliki sesuatu yang berbeda. Disamping
tingkahnya yang urakan dan sangat menyebalkan, ada sesuatu yang tampak istimewa
yang berhasil menyamarkan segala keburukannya dimata Ernest. Ia melihat tanggal
kematian yang berputar diatas kepalanya. Anehnya, angka-angka itu terus
berganti-ganti,membuat Ernest tersadar dari lamunannya. Mereka kembali
melanjutkan ‘jalan-jalan’ di Midwich.
No comments:
Post a Comment