Sunday, April 5, 2015

Green Frame ep.1 (cerita bersambung/cerbung)

Author : Reza Aldian
Editor  : Aulia Dini a.k.a Dirjo

Selamat membaca~

Beberapa mengatakan bahwa ada suatu sekat tak kasat mata yang memisahkan banyak hal di dunia ini. Sering kita dengar perihal cinta dan benci yang sama sekali tidak ada bedanya, atau mereka dipisahkan oleh suatu membran semi permeabel sehingga keduanya bisa bersentuhan secara tak langsung. Ini juga berlaku pada setiap hal yang berbeda di dunia ini.
Tapi, siapa bilang sekat-sekat itu hanya dijumpai dalam masalah kehidupan saja? Tepat dibawah kaki kita hidup makhluk ciptaan Tuhan yang jarang diketahui perwujudannya.
Hahaha. Aku tidak berbicara tentang kehidupan yang sama seperti kita. Ini sesuatu yang lain. Yang tidak pernah kita sadari namun kita mengetahuinya. Dan telah ada sebuah kisah yang memperkuat keberadaannya.
Malaikat.
Ada banyak macam dari malaikat yang tersebar di seluruh dunia. Sepuluh dari sekian juta atau bahkan triliunan telah kita ketahui. Aku akan menceritakan kisah dimana mereka pernah diketahui selalu dekat dengan manusia.
....
Pagi hari yang sejuk dan berkabut. Semua orang selalu memperkirakan setelah ini akan bercuaca panas. Hanya saja perkiraan mereka selalu berubah menjadi mimpi busuk yang tak pernah terkabul pada akhirnya. Berketinggian sedang dan dekat dengan gunung, tumbuhlah sebuah kota kecil yang bernama Hasseltown. Matahari memang kerap muncul untuk menyinari kota ini, akan tetapi sinar itu hanya berlaku seperti lampu penerangan saja. Tak terasa hangat sama sekali di kulit. Kalaupun sedang mencapai cuaca terpanas itu hanya membuat wajah kita hangat.
Walaupun kota ini tidak seluas London atau kota lainnya, Hasseltown adalah kota yang maju. Bukan kota kecil tradisional seperti yang dipikirkan banyak orang. Standar kehidupan mereka sudah sama baiknya dengan kota metropolitan lainnya, tetapi lingkungan mereka tetap asri dan menyejukkan, tanpa polusi udara yang berlebih dan kemacetan luar biasa.
Pagi di Hasseltown adalah pagi yang lumayan sibuk. Hasseltown memiliki tiga sekolah yaang cukup diminati masyarakatnya, salah satunya adalah Midwich High School. Mereka juga memiliki pusat kota yang menjadi pusat kegiatan Hasseltown. Disebut dengan Magenta Town Building. Memang bangunan yang tidak besar dan tinggi seperti gedung pencakar langit, tapi cukup lebar untuk menampung seribu orang dan didalamnya terdapat banyak sekali kegiatan.
Terlepas dari kegiatan mereka, mari kita menengadahkan kepala ke langit. Nun jauh diketinggian gedung, terkembang sepasang sayap yang tidak pernah bisa diketahui manusia. Sayap bersih tak bernoda, kelabu namun tak gelap, besar namun tak mengerikan. Mereka tidak hanya satu, tapi ada di sekeliling kita. Karena apa yang masyarakat Hasseltown punya tidak lepas dari rezeki Tuhan yang mengalir lewat sayap-sayap itu.
Tetapi bukan hanya rezeki yang mereka antar, kematian juga bersama sayapnya.
Karena umur dan rezeki serta musibah hanya Tuhan yang tahu. Sayap-sayap itu adalah penghantarnya, tentu saja malaikat tidak pernah tahu apa-apa mengenai masalah itu. Mereka hanya melakukan perintah Tuhan yang mengatur seluruh jagat raya ini.
Namun, salah satu dari mereka terlihat diam, hanya duduk dan tidak melakukan apa-apa. Merasakan kebosanan yang sulit untuk dideskripsikan. Sayap berwarna hitam yang memancarkan arti penuh ambigu[m1] . Tongkat kayu yang renta di tangan kirinya.
Kematian adalah urusannya.
Dia adalah penjaga Hasseltown dalam hal cabut mencabut nyawa. Sayangnya, kematian di Hasseltown jarang terjadi. Jikalau ada itu pun kematian normal yang terjadi pada orang tua yang memang sudah dekat waktunya dengan kematian. Sekarang atau beberapa minggu kemudian, ia takkan bertugas. Ia menggulung lengan pakaiannya yang panjang. Melihat permukaan kulit tangannya. Tidak ada guratan-guratan nama dan waktu beberapa manusia yang akan dicabutnya. Tulisan-tulisan itu biasanya adalah jadwal pekerjaannya. Mereka akan muncul disertai ingatan terakhir korban yang melintasi benaknya sehingga ia bisa langsung mengetahuinya.[m2] 
Memecah kebosanan yang sedari tadi merangkulnya, ia berkata “Apa yang harus kulakukan pada saat-saat seperti ini? Ini sungguh sangat membosankan. Apa yang kulihat pada manusia selalu itu-itu saja. Nama dan tanggal kematian selalu berputar diatas kepalanya. Tapi itu masih sangat lama. Benar-benar...” belum selesai ia mengoceh sendiri, hal gila terbesit dalam pikirannya.
“Mengapa aku tidak mencoba untuk lebih dekat dengan manusia?” ucapnya dengan girang.
Akan tetapi kegirangannya tidak bertahan lama setelah malaikat lain mendengar perkataannya. Sayap putih bersih muncul bagai tirai yang menghiasi tubuhnya Wujudnyabercahaya dan pakaian  rapi yang melengkapi penampilannya[m3] .
“Akan ada konsekuensi dari perbuatanmu, Masson[m4] !” suara berat yang menggelegar mengagetkan si malaikat kematian yang bernama Masson itu. “Selama kau menyamar menjadi manusia atau wujud lainnya kau harus tetap berbakti pada Tuhan dan melaksanakan pekerjaanmu. Kalau kau melanggar semuanya, kau akan dikutuk menjadi sosok dari samaranmu!” lanjutnya.
Setelah menyelesaikan peringatannya, ia menghilang. Perkataan rekannya tadi membuat Masson berpikir dua kali untuk melakukan itu. Namun karena ketertarikannya pada manusia ia pada akhirnya memutuskan untuk melakukannya.
Ia bangkit dari duduknya, berdiri dan bermeditasi. Seketika cahaya berwarna merah ada disekelilingnya. Langit meredup dan turun hujan. Cahaya-cahaya itu mulai mengelilingi Masson. Semakin cepat dan semakin cepat, cahaya itu hampir menutupi tubuh Masson. Ia mengerang dan semua cahaya merah itu menutupi tubuhnya dan berputar makin cepat. Ledakan terdengar seperti suara guntur yang menyambar. Kilat merah menyambar atap gedung itu dan semuanya usai. Badai hebat selama tiga menit itu berakhir dan cuaca berubah membaik. Matahari yang dingin kembali menyinari Hasseltown. Masyarakat sekitar sempat bingung karena kotanya tidak pernah dilanda hujan yang sekedar lewat seperti ini. namun mereka mengacuhkan itu dan kembali ke pekerjaan masing-masing.
Masson tergeletak lemah di atap edung itu. Basah, dingin, dan tanpa busana. Sayapnya telah lenyap dan tongkatnya menghilang. Masson sedikit linglung dan terguncang. Ia merasa seperti benar-benar menjadi manusia. Namun akal sehatnya mulai kembali dan menyadari bahwa dia telah melakukan apa yang dia inginkan.
“Sialan, dingin sekali. Aku butuh baju sekarang juga” ucapnya menggigil. Iabangkit dan melihat sekitar. Ada gudang di pojok sana. Ia mati-matian mendobrak pintu sampai terbuka. Ia melihat seisi gudang itu, mencari apa yang bisa ia pakai.
Masson turun dan keluar dari gedung tersebut. Untung saja ada pakaian pas yang ia temukan digudang. Langkah pertamanya di bumi sebagai manusia membuatnya teringat satu hal, “Astaga, apa aku harus memulainya dari nol? Aku lupa kalau sekarang aku sedang menyamar menjadi manusia” katanya sambil menepuk dahi.
Sekali lagi, sosok manusia yang dimilikinya sudah memanusiakan dirinya. Sampai lupa kalau dia adalah malaikat. Punya kekuatan dan keajaiban. Ia mulai mencoba-coba mengetes kekuatannya. Masson mencari objek sederhana untuk bahan percobaanya. Masson menemukan pohon yang layu, ia mulai mengerjakannya. “Kembali sehat!” bisiknya sambil menatap tajam pohon itu. Seketika daun-daunan hijau menghiasi ranting kering itu dan semuanya berubah rindang. Sampai-sampai mengejutkan orang yang sedang duduk di bangku taman bawah pohon.
Ya, dia bisa.
“Aku butuh sejumlah uang sekarang” ucapnya sambil menatap tajam telapak tangannya dan muncul kartu kredit dan uang tunai sejumlah $2000. “Aku juga butuh identitas baru, paspor, kartu tanda penduduk, dan ponsel” ucapnya dan sekali lagi semua muncul begitu saja. Ia segera pergi ke supermarket dan toko pakaian terdekat.
Menarik koper yang berisi pakaian dan makanan kaleng yang baru saja dibelinya, ia berjalan menyusuri satu kompleks rumah. Kompleks yang lumayan sepi. Setahu Masson, ini bukan hari libur dan ini masih pukul  sembilan pagi. Ia merogoh kantongnya dan memperhatikan kartu identitas barunya. Ernest North, 281 Elmore Street, Hasseltown, March, 21, 1996. Foto itu bukan wajahnya.
Foto itu bukan wajahku? Batinnya.
Dengan terburu-buru Masson mengambil ponsel di kantong celananya dan berkaca. “What the... wajahku pun ikut berubah? Apa-apaan...” ia terkaget dan sedikit lemas. Ia hadir dengan tubuh berumur 18 tahun, remaja dengan wajah asiatis berkulit sawo matang dan rambut warna hitam. Ia mengamati tubuh barunya, “ Lumayan, ini lebih baik dari tubuh jangkung yang sebelumnya” ujarnya bangga sambil menepuk-nepuk perutnya.
Alamat telah ditemukan, ia terpaksa harus mondar mandir untuk mengurutkan nomor rumah dari awal. Dan yang ditemukannya hanya tanah kosong. “Astaga! Apa aku harus tidur diatas tanah? Aku butuh rumah” ucapnya dan sekali lagi terwujud. Cahaya merah datang dari telapak tangannya dan terbang menuju tanah kosong itu. Mereka mulai berputar-putar disana. Dalam hitungan menit, rumah sederhana memenuhi tanah kosong itu. Rumah dengan cat warna hitam. Semuanya serba hitam. Taman yang dihiasi mawar hitam yang cantik. Sempurna, pikirnya. Masson melangkah masuk kedalam rumahnya.
Jam antik dengan ornamen emas yang terlihat mahal menunjukkan pukul tujuh malam. Masson baru saja selesai mandi dan mulai menyiapkan makanan. Rumahnya memang kecil, tapi karena ia sendirian segalanya terasa hening. Masson menyalakan televisi dengan volume agak keras dan menuju ke dapur. “Kehidupan manusia sangat merepotkan, aku harus belajar menjadi Ernest North” ujarnya dengan wajah serius. Baru saja ia membuka kulkas, bel pintu rumah berbunyi. Celakanya, ia belum siap berinteraksi dengan tetangga atau orang lainnya. “Tunggu sebentar!” seru Masson.
“Halo tetangga baru! Aku Sebastian White dan ini istriku Mandy. Apa kau baru disini?” ucap seorang pria berangka 30-an dengan tubuh lumayan tinggi begitu Masson membuka pintu. Masson hanya bisa melongo dan grogi. “A..aku Ernest. Ernest North. Errr... Mari masuk! Silahkan duduk!”. Setelah mereka masuk, Masson pamit ke ruang dapur untuk membuatkan mereka minum.
Sekarang, Masson harus dipanggil dengan nama Ernest. Dan Masson juga harus mengingat bahwa dia sekarang adalah Ernest. Perbincangan mereka pun dimulai, mulai dari bertanya darimana Ernest berasal, apa tujuannya datang ke Hasseltown, dan parahnya keluarga White hanya mengetahui bahwa dua minggu sebelumnya tidak ada rumah yang berdiri di tanah kosong yang tak pernah laku ini. Ernest harus mengarang cerita bahwa dalam dua minggu itulah ada konstruksi kecil disini. Paman Ernest yang tinggal di Filipina sengaja membelikan tanah untuk tempat tinggal keponakannya itu demi meneruskan tahun terakhir SMA nya dan meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi. Pada akhirnya ia meminta bantuan kepada keluarga White untuk mengurus masalah sekolah. Untunglah keluarga White berbaik hati dan mau membantunya mengenai masalah itu.
Pukul delapan tuan dan nyonya White kembali kerumahnya. Ernest meminta tolong mereka kembali besok untuk membantunya. Sementara itu ia harus bekerja keras memikirkan dan mencari sumber seperti apa surat pindah sekolah, rapor dan surat sekolah di Filipina sehingga ia bisa mengarangnya.
Keesokan harinya pukul sembilan pagi, Nyonya White kembali ke rumah Ernest untuk melihat surat-surat yang ‘sebenarnya’ Ernest buat sendiri. Kemudian dengan senang hati Nyonya White menjelaskan bagaimana untuk mendaftar sekolah dan seperti apa model belajar di Eropa ini. Sebenarnya, Nyonya White kasihan dengan Ernest yang ‘terlihat seperti dibiarkan orang tuanya ke luar negeri begitu jauh tanpa arahan dan pengawasan. Nyonya White sebelumnya memiliki anak yang sebaya dengan Ernest, namun sekarang telah meninggal dunia akibat kecelakaan fatal saat melakukan pendakian gunung. Hal itu membuatnya ingin membantu Ernest yang sedikit mengingatkannya akan  almarhum anaknya.Selesai memberi arahan sekolah pada Ernest, Nyonya White membawa Ernest menuju Midwich High School, yang sebenarnya sudah diketahui oleh Ernest sebagai sekolah paling diminati disana dari pengamatan yang dilakukannya ketika ia biasa melakukan tugasnya.
Sesampainya di sekolah ia langsung menuju resepsionis dan diarahkan untuk menuju ruang administrasi. Pendaftaran memakan waktu cukup lama karena bertepatan dengan tahun ajaran baru. Ernest beruntung, karena awal tahun juga merupakan awal yang baik untuk berbaur diantara manusia.[m5] 
“Ini kartu anggotamu, jadwal kelas, ini denah sekolah dan juga beberapa buku pelajaran yang wajib dimiliki, dan ini bukti pembayaran uang gedungnya. Selamat datang di Midwich. Semoga kau cepat kerasan di sekolah” ucap wanita berumur 40-an dengan dandanan agak menor, tetapi ia sangat ramah dimata Ernest. “Kembalilah hari Senin besok. Kau masih punya banyak waktu untuk mempersiapkan semuanya” lanjut wanita itu.
Dalam beberapa hari menuju tahun ajaran baru, Ernest belajar keras agar tidak terlalu bodoh saat masuk nanti. Ia juga sengaja membeli buku referensi lain yang mencakup previous knowledge dari buku-buku pelajaran yang di terimanya pada saat pendaftaran. “Otak manusia memang luar biasa. Pelajaran seperti ini masih bisa mereka telan” ujar Ernest kewalahan. Buku-buku yang tadinya masih rapi dan berbungkus plastik, dalam beberapa hari langsung berubah menjadi kusut dan lusuh karena banyak coret-coretan disana sini. Tak lupa Ernest atau [m6] (Masson) [m7] berdoa pada Tuhan agar ia diberi petunjuk dalam kehidupan manusianya.
Hari senin yang ditentukan tiba. Sudah saatnya masuk sekolah. Ernest diantar oleh Tuan White di hari pertamanya itu. Menjadi siswa di Midwich tidak seperti yang Ernest kira sebelumnya. Dalam pandangannya Midwich adalah sekolah favorit yang pastinya sangat terjaga perilakunya. Kenyataannya, banyak geng yang ada disana. Yang suka dengan kecantikan, yang selalu membawa gadget mewah, anak-anak kaya raya, yang tersingkir, kutu buku dan masih banyak lagi. Secara pribadi mungkin Ernest akan memilih orang-orang ‘tersingkir’ karena ia masih baru dan susah akrab dengan manusia. Semua membuat Ernest sakit kepala, ia segera mencari kelasnya.
Kelas pertamanya adalah matematika kalkulus kelas 3[m8] . Pelajaran yang baru ia pelajari semalam. Ernest dapat bernapas lega karena ia tidak akan terlihat bodoh dalam kegiatan belajar nanti. Saat melangkah memasuki kelas, keringat dingin mengalir begitu saja. Ernest benar-benar belum siap berinteraksi dengan banyak manusia, apalagi dengan matanya yang tetap bekerja seperti mata malaikat. Nama dan angka kematian sudah berkeliling diatas kepala [m9] mereka. Bagusnya ini membantu perkenalan Ernest dengan lainnya.
Ernest mencari tempat duduk kosong. Kursi kedua dari belakang. Mata banyak tertuju padanya karena Ernest, anak asia yang belum pernah dilihat bisa muncul begitu saja di Midwich. Bukan tatapan penasaran, tapi tatapan heran dan bingung. Memang populasi orang Asia di Hasseltown tidak sampai 50 orang, apalagi yang sampai bersekolah di Midwich. Wajar saja, batin Ernest.
Saat guru pengampu masuk, semua murid juga sudah duduk di bangku masing-masing. Menurut apa yang dilihat Ernest, namanya adalah Luna Cedrac. Bu Cedrac mengawali pertemuan dengan menyambut beberapa murid baru. Ternyata bukan hanya Ernest yang baru di Midwich. Ada Olive yang pindah dari Candle High School, dan Sam Rankins yang mengaku hanya singgah di Hasseltown sekaligus menyelesaikan SMA nya. Mereka berdua duduk berjauhan dari Ernest.
Pelajaran berlangsung lancar. Ernest juga mampu mengikuti pelajaran itu dengan baik. Bahkan kuis pertamanya di dunia manusia mendapat skor 94. Tanpa terasa kelas itu berjalan dengan cukup cepat. Bel berbunyi dan sudah saatnya ganti pelajaran. Saat Ernest sedang merapikan buku-bukunya. Dua anak menghampirinya, satu pria dan satu wanita dan mereka memulai pembicaraan terlebih dahulu.
“Kau berasal dari Filipina? Unbelieveable!” ujar si pria yang bertubuh gempal. “Aku Danny, dan ini Rose” lanjutnya sambil mengenalkan perempuan di sampingnya.
“Hai Ernest. Hmmmm kau seksi juga” ujar perempuan itu sedikit genit. Danny mentoyor [m10] kepala Rose yang kegenitan itu dan mereka bertiga tertawa. “Hei kalian berdua, jangan diam saja, bergabunglah dengan kami” ujar Danny mengajak dua anak baru yang  dikenalkan Bu Luna bersama Ernest tadi.
Tidak seperti dugaan-dugaan Ernest yang negatif, ada manusia yang ramahnya sangat tersirat. Kelihatannya saja menyebalkan atau jutek, tetapi apabila sudah mengenalnya mereka akan menunjukkan kebaikan yang sebenarnya dia miliki. Seperti dua teman pertamanya ini.
Rose, Danny, Olive, Sam dan Ernest berjalan bersama-sama menyusuri setiap sudut sekolah. Rose dan Danny sedang berperan sebagai ‘friendly school guide’ disini. Mereka berdua menunjukkan ruangan, tempat beserta fungsinya. Hal mengasyikkan dari Midwich pun tak luput disampaikannya. Kemudian mereka berpencar untuk mengetahui lebih banyak. Sam dan Olive ikut bersama Danny, dan Ernest pergi bersama Rose.
Saat Rose sedang asyik berbicara panjang lebar tentang Midwich, tak sengaja Ernest mendapati seorang laki-laki yang tampaknya sangat dikenal di Midwich. “Rose, siapa anak itu? Kelas tiga juga?” tanya Ernest.
“Oh, anak itu” jawab Rose dengan nada benci, “Namanya adalah Dylan. Dylan Clearwater[m11] . Entah harus mulai dari mana aku menjelaskan tentang anak menyebalkan itu. Hmm, dia adalah anak salah satu pengusaha restoran di Magenta. Kalau boleh kukatakan, keluarganya cukup memadai, berkecukupan. Seharusnya kedisiplinan dan kesopanannya terjaga. Akan tetapi dia sering melakukan bullying pada anak-anak baru yang lemah disini” jelas Rose dengan nada setengah hati karena ia juga tidak menyukainya
“Dan dua anak itu? Apakah anak buahnya?” lanjut Ernest.
“Ya, Dylan seperti queen bee  disana, maksudku king bee. Mereka bertingkah sok penguasa di Midwich” jelas Rose lagi.
Tapi dimata Ernest atau Masson, Dylan memiliki sesuatu yang berbeda. Disamping tingkahnya yang urakan dan sangat menyebalkan, ada sesuatu yang tampak istimewa yang berhasil menyamarkan segala keburukannya dimata Ernest. Ia melihat tanggal kematian yang berputar diatas kepalanya. Anehnya, angka-angka itu terus berganti-ganti,membuat Ernest tersadar dari lamunannya. Mereka kembali melanjutkan ‘jalan-jalan’ di Midwich.







No comments:

Post a Comment