The Real Duplicate
By: Muhammad Reza Aldian
Rentetan gerbong yang begitu panjang
menghantarkannya pada perhentian terakhir. Kristin sudah kembali ke Jakarta.
Namun kabut kemuraman masih saja menyelimuti Kristin. Kehilangan seseorang yang kita
sayangi, bukanlah hal yang mudah untuk dilewati. Itulah yang dirasakannya.
Tiap napas, langkah, dan tatapannya
seakan tanpa warna. Semakin dipaksa semakin berat. Kristin memutuskan untuk
tidak langsung pulang ke rumah.
Kini ia terduduk di sebuah kafe kecil
yang sejuk, tetapi terlalu dingin untuk Kristin. Tas ransel tersandar di kursi
kanannya. Minuman yang dia pesan dibiarkan mendingin. Kristin hanya memandangi tape recorder kecil milik Aldo, dan
secarik foto masa lalu mereka.
Tali pertemanan yang amat erat
membangun rasa kasih yang sangat besar. Begitulah yang mereka alami. Rasa
itupun tidak pernah hilang hingga napas terakhir sahabat kecilnya. Tak terasa
air mata meleleh membasahi pipinya. Kristin begitu menyesali perbuatannya. Kenapa aku harus sekolah disini? Kenapa aku
ninggalin Aldo? Ah, bodohnya aku, teriaknya dalam hati.
Senin pagi seharusnya menjadi hari
yang cerah dan membuat masyarakat besemangat, justru tidak untuk Kristin.
Langkahnya gontai menuju ke kelasnya. Kabar kematian Aldo hanya sampai ke
telinga April, June, dan Ratna, sahabat-sahabat dekat Kristin. Mereka bertiga
menyambut Kristin dengan hangat.
Hari seakan jauh lebih cepat bagi
Kristin. Baru saja masuk sekolah, sekarang ia sudah duduk di kantin bersama
ketiga temannya.
“Tin, elo jangan murung terus dong.
Kita-kita kan jadi bingung mesti ngapain.” Ujar Ratna.
“Udah, gue gapapa, kok” balas Kristin
lesu.
“Iya tapi sekarang lo mesti ikhlasin
Aldo, Tin. Ini semua udah kejadianNya” timpal June.
Kristin menghargai perhatian ketiga
temannya itu. Namun bagi Kristin sendiri, kata-kata mereka sangat tidak
berguna. Malahan makin membuatnya terpuruk.
......
“Rasanya kamu perlu mama ijinkan
beberapa hari untuk tidak masuk sekolah” tawar ibu Kristin. Melihat kondisi
anaknya yang berubah total semenjak kepergian sahabat eratnya. “Kristin gapapa
kok, mah. Masih kuat sekolah” ujarnya. “Tapi lihat, kamu pucat tiap hari, lesu,
lemes. Gimana mama ga khawatir? Sudah nurut mama, tiga atau empat hari aja,
oke?” tawar mamanya.
Mau tak mau, Kristin tidak bisa
menolak kata-kata mama tercintanya. Dua hari hanya ia habiskan dikamarnya.
Termenung di depan komputer, atau kadang memandangi secarik foto dirinya dan
Aldo, memutar dan me-reverse berulang
kali tape recordernya. Hal-hal yang
tidak berguna dan membuatnya makin larut dalam kesedihannya.
Berpikir untuk lari dari semua
kesedihan ini, Kristin berniat untuk keluar rumah. Ia harus mencari hiburan, ia
harus menghilangkan bayang-bayang yang tak perlu diingatnya lagi. Tetapi tidak
semudah yang ia kira. Di setiap saat ia berjalan, selalu saja ada ingatan
tentang Aldo yang melintas didalam kepalanya. Hal ini membuat konsentrasi
berjalan Kristin membuyar,”ah, lebih baik aku kembali ke rumah, daripada nanti
terjadi kecelakaan konyol padaku” batinnya.
Empat hari itu sangat sia-sia bagi
Kristin. Tidak ada perubahan signifikan dari pikirannya. Masih Aldo, dan Aldo
lagi, setiap saat.
Kristin harus kembali masuk ke
sokolah. Ia tidak mau meninggalkan banyak pelajaran penting. Apalagi, jurusan
yang diambilnya adalah IPA. Mungkin saja empat hari itu sudah banyak tugas yang
menggunung.
“Kristin!!!? Lo kenapa ga masuk sih
kemaren? Lo sakit apaan?” serbu April saat Kristin masuk ke dalam kelas.
“Engga kok, lagi kepengen bolos aja”
jawab Kristin sekenanya.
“Yaelah baru denger gue, anak pinter
ngebolos tanpa alasan” cerca April.
“Yehh sok tau lo, Pril! Orang di
surat ijinnya aja sakit, kok” timpal salah satu temannya pada April.
“Eh, masa?”
“Wah, jangan-jangan elo yang bolos
nih, Pril?” tambah Kristin.
“Iiihh... engga lah. Orang gue masuk
terus kok. Guenya kali ya yang ga tau kalo elo ijin pake surat” jelas April.
Pagi ini membuat Kristin sedikit
melupakan masalahnya. Banyolan teman-temannya sudah cukup membuat Kristin
tersenyum, bahkan tertawa terbahak-bahak. Apalagi, pelajaran kimia favoritnya,
yang notabene memakan konsentrasi tinggi, sudah sangat berguna untuk
menggantikan posisi masalahnya dengan angka-angka dan rumus.
Saat sedang istirahat, April dan
salah satu temannya, Sri, sedang berbincang tentang keadaan Kristin. “Akhirnya
ya Sri. Kristin bisa senyum lagi” ujar April lega.
“Iya lho,Pril. Usahakan dia seger
terus sampai besok-besok. Enek juga liat dia jutek. Hahaha” balas Sri dengan dialek
Jakarta berlogat Jawa yang terdengar lucu.
Hari ini dan hari seterusnya, bahkan
hingga sekarang. Kristin sudah kembali seperti semula. Ia sudah sadar dari
kemuramannya selama berminggu-minggu. Ia sudah kembali menjadi Kristin,
walaupun tanpa ada Aldo disampingnya.
Hari ini sabtu, hari bebas baginya.
Saatnya keluar rumah untuk cuci mata. Kristin berencana mengunjungi sebuah
pertunjukkan musik jazz di salah satu
kafe bersama April. Namun apadaya, karena April sakit, ia tidak jadi
mengunjungi pertunjukkan musik tersebut. Maka Kristin memilih untuk mengunjungi
toko buku.
Sesampainya disana, mata Kristin
benar-benar melek. Sudah sekian lama ia tidak membaca buku. Ia langsung
menyatroni satu persatu rak buku dengan berbagai kategori. Hampir semua ia
hampiri, entah itu novel, komik, biografi.
Namun memang nasib yang kurang mujur.
Ia menemukan komik kesukaan Aldo. Komik detektif Conan. Sebuah komik itu
langsung membuka kotak memori Kristin tentang Aldo. Mungkin kalau dia masih
ada, seri komiknya pasti lengkap sampai edisi baru ini, batin Kristin. Ia
pernah ingat, waktu SMP Aldo pernah berkata “Nih nanti aku bakal jadi detektif
sekeren Conan” dengan sangat bangganya. Membuat Kristin merasa aneh melihat
Aldo mupeng dan berandai-andai tidak jelas. Memikirkan itu Kristin jadi tertawa
sendiri.
Bosan, menimbang-nimbang komik
tersebut dan mengembalikannya ke tempat semula. Kristin mulai beralih ke rak
yang lain. Namun, tanpa disengaja Kristin menabrak seseorang. Mereka berdua
terjerembap. Barang-barang yang ada di dalam tas Kristin pun berantakan.
“Aduh, sori-sori, maaf ga sengaja”
ujar Kristin panik sembari membereskan barangnya. Semua sudah kembali ke dalam
tasnya, tetapi seperti ada yang kurang.
“Eh iya gapapa aku yang salah. Ini
hape kakak” kata orang tadi sambil menyodorkan ponsel milik Kristin.
Nah, ini dia yang kucari-cari, batin
Kristin. “Makasih ya. Sekali lagi maaf” ucap Kristin sambil berusaha berdiri.
Kristin menerima ponsel itu, mengamati apakah ada kerusakan atau tidak. “Hape
kakak gapapa kan?” ujar anak itu.
Kristin menolehkan wajahnya pada anak itu,
berniat memberi senyuman rasa terima kasih dan menandakan bahwa ponselnya
baik-baik saja. Namun semburat senyum itu hilang ketika Kristin melihat wajah
anak itu.
Seketika tubuh Kristin lemas. Mungkin
kakinya serasa tidak dapat menopang berat badannya. Wajah anak itu sangat mirip
dengan Aldo! Tidak hanya itu, mulai dari perawakan hingga caranya melihat
sesuatu dilakukannya persis seperti Almarhum Aldo. Ini membuat air mata Kristin
meleleh dalam tatapannya yang kosong. Speechless
dengan apa yang dilihatnya. Ini mimpikah? Atau dia hantu?, pikirannya
sungguh sangat kacau.
“Eh? Hapenya rusak? Aduh maaf ya
nanti saya ganti deh, kak” ucap bocah berseragam SMK itu panik.”Atau nanti saya
benerin deh, saya bisa kok”
Kristin hanya menunduk untuk menutupi
tangisannya. Ia hanya menggeleng menjawab pertanyaan itu. “terus kenapa kak?
Aduh, jangan nangis dong, nanti dikira saya ngapa-ngapain kakak” ucap anak itu
makin gelisah. Membuat Kristin sadar keadaan dirinya telah membuat anak itu
panik.
Namun kesadarannya tak bertahan lama
ketika Kristin kembali menatap wajah anak itu. Pikirannya kembali kacau dan
keluarlah kata-kata yang mulai rancu. “Aldo..”ucap Kristin lirih.
“Apa? Oh saya bukan Aldo, kak. Saya
Putra” balas anak itu dengan lugunya. Kristin kembali menunduk, sadar apa yang
dilakukannya salah sasaran. “Oh maaf,.” Dengan cepat Kristin pergi meninggalkan
bocah bernama Putra itu, sambil berusaha menutupi bekas-bekas air matanya.
Putra terdiam bingung. “ada yang ngga
beres apa ya sama orang itu? Udah jelas-jelas nama gue Putra dipanggilnya Aldo.
Kebagusan tau... hahaha” ucapnya sambil pergi meninggalkan tempat itu. Langkah
Putra terhenti ketika melihat sebuah benda tergeletak dilantai.” Eh? BB? Ini
punya siapa sih? Rasanya yang kukasihin tadi hape Andro” gumanya
bertanya-tanya. Memastikan kepemilikan ponsel tersebut, Putra segera
mengutak-atik ponsel tersebut. Pertama membuka BBM, ia menemukan nama Kristin
Dianasri dan pin BB-nya, tetapi belum ada kejelasan foto diri karena foto yang
dipasang bukan foto orang tadi.”Oh jadi namanya Kristin” ucapnya sambil
mengangguk tahu. Belum puas, ia membuka media, dia menemukan foto yang wajahnya
sama dengan Kristin. Wah benar ini milik cewek tadi, batinnya.”Gimana
balikinnya ya? Mana orangnya udah pergi. Uhhh dungu banget sih” umpatnya.
......
Kristin duduk terdiam diatas
ranjangnya. Ia semakin bingung akan apa yang di alaminya hari ini. Bayangkan
saja, anak itu hampir kembar dengan Aldo, wajah, tinggi badan, badan
kingkongnya juga sama menurut Kristin. Bahkan Kristin hampir mengira kalau Aldo
tidak jadi meninggal. Ah, ini sungguh membuat gundah, batinnya. Kristin
merapatkan kedua kakinya karena malam semakin dingin. Dilihatnya jam dinding menunjukkan
angka dua belas lewat.
“Siapa ya yang masih bangun jam
segini? Bbm April, ah” Kristin berbicara sendiri. Ia beranjak dari kasurnya dan
segera merogoh tas selempangnya. Akan tetapi ia tidak menemukan blackberry-nya
didalam. “Hah? Kok ga ada?” Kristin mulai bingung. Ia menumpahkan segala benda
yang ada didalam tas itu namun tidak ada BB miliknya sama sekali. “Apa tadi
jatoh ya? Aduh gawat nih kalo sampe ilang, mama ga bakalan beliin aku BB lagi”
Kristin uring-uringan sendiri.
Keesokan paginya disekolah. Ia
bercerita dengan ketiga teman setianya tentang BB-nya yang hilang. “Lho kok
bisa ilang sih, Tin?” tanya April. “Kayaknya sih kemaren jatoh deh pas di toko
buku, soalnya kemaren gue nabrak...”
“Nabrak? Nabrak apaan? Jangan bilang
lo keasyikan baca sambil jalan terus nabrak mas-mas yang jaga toko buku deh”
terka April asal.
Kristin bingung harus bilang apa
tentang kejadian kemarin. Bisa-bisa kejadian itu menjadi bahan empuk gosipan mereka
bertiga, atau malah mereka bisa mengira dirinya terlalu depresi. “Engga-engga,
gue lagi meleng aja jalannya, terus nabrak orang deh. Emang kemaren gue lagi
ngantuk banget” jelas Kristin berbohong.
“Yaelah, kalo ngantuk yang ada mah
tidur kali, Tin. Ini malah ngeloyor ke toko buku” ucap April sedikit bercanda.
“Yaudah lah, pulang sekolah kita cari disana. Siapa tau ada di pusat anak
ilang” candanya lagi. “Wah somplak otak lo!” balas Kristin.
Sementara di sekolah, Putra sibuk
memikirkan bagaimana cara mengembalikan ponsel mahal itu pada pemiliknya. Sejak
tadi ia terus menerus membolak-balik ponsel tersebut sembari berpikir.
“Buset dahh! Hape baru, Ra?” tanya
seorang temannya. Membuat Putra sedikit terkejut.
“Enggaak! Sejarah mana sih yang
nyebutin anak kos bisa beli hape mahal? Bego lo, ngagetin gue aja” gerutunya.
Putra adalah anak paling bisa membanyol di sekolahnya. Tak jarang apabila
sekolah mengadakan suatu acara yang membutuhkan MC, pasti Putra yang dikejar.
Dirinya juga memimpin ekstrakurikuler elektronika di SMK-nya. Digilai
teman-temannya sudah pasti. Setiap ditanya, jawabannya pasti “Dimana lagi
servis pc dengan harga super miring kalo ga ke Putra”.
Hal ini pun sangat menolong Putra yang
bersandangkan ‘anak kos paling nelangsa’. Karena orang tuanya hanya mengirim
uang SPP dan bayaran kos. Uang hasil bayaran servisnya bisa ia gunakan untuk
makan dan lainnya. Masalah panggilan ‘Ra’ pun ada sebabnya. Karena namanya
adalah Rama Putrasaka. Sempat galau mengenai nama panggilannya,karena dirinya
menyukai kesederhanaan, ia lebih menyukai nama ‘Putra’ dari bagian lengkap
namanya. Jika mau dipanggil ‘Ram’ katanya nanti berkesan seperti om-om, mau
dipanggil Sak nanti meleset jadi suck.
Mau di panggil ‘Ka’ ia bilang terlalu keren, bisa-bisa ia dikira kakak kelas. Kalau
‘Put’ nanti dikira cewek. Dan banyak alasan lain yang membuatnya terpaksa
memilih ‘Ra’ sebagai panggilannya.
“Ini hape orang, kemaren di toko buku
gue habis ditabrak sama cewek meleng, tau deh mikirin apa. Jelas-jelas gue lagi
mematung sambil baca buku disampingnya. Katarak kali tuh” sambungnya.
“ Wah, kesempatan tuh, Ra. Jodoh buat
mengakhiri hidup jomblo elo” ucap temannya. “Kampret lo, Jo!” bentaknya sambil
melemparkan buku.
Dengan tekad bulatnya mengembalikan
ponsel itu. Putra berniat kembali ke toko buku tersebut sepulang sekolah. Di
tempat yang sama, posisi yang sama dan rak buku yang sama. Matanya menyapu
seisi ruangan mencari Kristin, namun tak kunjung ditemukannya. Sudah satu jam
ia disana. Putra tidak mau menyimpan ponsel itu lebih lama, karena dapat
mempersempit kamarnya yang penuh dengan CPU rusak yang perlu di servis. Dan,
satu jam menunggu ternyata tidak sia sia. Ia menemukan dua orang perempuan
berseragam SMA yang diantaranya adalah si Kristin. Mereka bertiga sibuk
memeriksa setiap section untuk
menemukan rak yang kemarin dikunjunginya.
“Nah, itu. Dateng juga” ucapnya lega.
Putra mendapati Kristin bersamaan dengan Kristin mendapatinya. Kristin terdiam,
tak tahu harus bicara dari mana. April pun juga ikut bingung akan apa yang
dilihatnya, dan ia histeris sendiri. “Astaga ya Tuhan! Tin setan, Tin! Tin!”
ucapnya sambil menarik-narik lengan baju Kristin. Ini tambah membuatnya bingung
bagaimana dirinya menjelaskan tentang Aldo kedua ini.
“Maaf, kak. Ini hapenya, kemaren
belum kepungut pas jatoh. Jadinya aku simpen dulu. Pasti nyariin, maaf ya?”
ucapnya sambil menyodorkan blackberry itu. Namun raut wajahnya makin bingung ketika
melihat perempuan yang satunya melongo lebar-lebar melihat dirinya. Akhrinya
Kristin memberanikan diri untuk berbicara.”Ma..Makasih ya. Eenng.. soal temenku
ini bisa aku jelasin. Jadi jangan kebingungan gitu” ucapnya dengan suara serak
sekenanya.
Kini mereka bertiga duduk di kafe
kopi yang terletak tidak jauh dari toko buku itu. Belum ada yang berani memulai
pembicaraan. April masih melongo, Kristin sibuk memainkan kuku jarinya karena
gugup, dan Putra kebingungan, melihat kedua wanita ini bergantian. Kristin
mengambil dompetnya dan mengeluarkan sebuah foto. Foto dirinya bersama Aldo
yang diambil tepat 10 hari sebelum Aldo pergi, dimana Aldo saat itu pulih untuk
sementara. Foto itu diberikannya pada Putra. Seketika itu juga, mata Putra
terbelalak melihat secarik foto tersebut.
“Hah??? Sejak kapan aku foto sama
kakak?” tanyanya terkejut.
“gausah panggil kakak, Kristin aja.
Lagian kita nampak seumuran. Dan ini, April” ucapnya mengenalkan April. “Dan
soal siapa yang ada di foto itu, namanya Aldo. Temen aku sejak kecil. Dia udah
ga ada beberapa bulan lalu” jelasnya dengan nada merendah.
“Oooh.. maaf. Tapi beneran deh, ini
gue berasa ngaca di cermin. Kok bisa mirip ya?” ucapnya dengan gaya bicara yang
mulai menyesuaikan. Putra memang begitu, jika kepada orang yang belum
dikenalnya, ia selalu berbicara dengan bahasa formal. Tapi jika sudah mulai
mengenal, gaya bahasanya berubah langsung seperti dengan teman sendiri.
“Sumpah ya, Tin. Gue kira anak ini
tuh hantu. Liat coba, dari atas sampe bawah ga ada bedanya” ucap April
meyakinkan. Memang benar, jika Kristin mengamatinya, Putra benar-benar seperti
replika dari Aldo. Dan iya juga yakin ini memang layaknya replika. Pasalnya, ia
tahu pada saat upacara kematian Aldo, Aldo lah yang ada didalam peti itu,
hingga dikuburkan, peti itu sudah terkunci rapat.
“Oiya, kamu sekolah dimana, Put?”
tanya April.
“Ngg... di SMK Pancasila. Tapi maaf
nih sebelumnya, kalo mau manggil aku jangan Put dong” pinta Putra sedikit
merengek. “Terus kamu maunya dipanggil apa?” tanya April lagi. “Pake ‘Ra’ aja”
jelas Putra.
Perkenalan secara tidak disengaja ini
berlangsung cukup lama. Dengan kisaran dua bulan saja, Kristin dan Putra sudah
sangat akrab. Namun saat Putra bermain ke rumah Kristin, ia dianjurkan Kristin
untuk menyamarkan penampilan wajahnya sebelum masuk ke rumah. Sederhana saja,
kacamata dan dan topi yang dipakai terbalik sudah cukup membuat tampilan Putra
berbeda. Pasalnya, kalau mama Kristin mendapati Putra tanpa makeover sederhana, beliau bisa pingsan
melihat ‘hantu’ Aldo.
Suatu hari, pada saat Putra sedang
ada di rumah Kristin dalam rangka membersihkan komputer Kristin dari virus yang
tak pernah ada mampusnya. Putra iseng menanyakan sesuatu tentang Aldo pada
Kristin.
“Tin, gue penasaran deh. Sebenernya,
Aldo orangnya itu kayak apa sih? Kayaknya sangat istimewa bagi lo. Liat deh,
fotonya aja ada di tiap sudut meja belajar lo” tanya Putra sembari
mengutak-atik komputer. “Maaf sebelumnya, kalo pertanyaan gue udah bikin lo ga
enak. Ga usah dijawab gapapa kok”.
“Hahahaha. Putra...Putra.. Gapapa lah
lagian gue udah bisa nerima kenyataan. Gue yakin Aldo disana lebih bahagia,
apalagi liat gue sekarang yang udah selalu berdoa buat dia. Ya walaupun gue
orang yang ngga rajin ibadah. Aldo itu ketemu gue pada saat gue berumur 5
tahunan. Dia baru aja pindah ke rumah kosong tepat disebelah rumah gue dulu.
Anaknya tuh dulu lugu luar biasa, susah banget yang namanya berteman. Temen aja
dia milih, dan gue temen pertamanya yang paling deket sama dia” jelas Kristin
sambil tersenyum mengingat segala hal.
“Kemana-mana pasti kita selalu
bareng. Sampe dia milih untuk satu SD sama aku. Bahkan SMP aja bareng lagi.
Yang unik darinya itu, sikap childish-nya yang ga pernah ilang sampe kita lulus
SMP. Di kamarnya itu kita ngumpulin mainan bareng-bareng. Separo dari mainan
gue ada di kamarnya, tapi gimanapun tetep jumlah mainannya yang lebih banyak.
Walaupun dia sedikit manja, dia hampir tidak pernah berbuat kesalahan sama gue.
Itu yang bikin gue sayang sama dia. Cuma, guenya yang berbuat hal bodoh sama
dia. Karena PMDK yang gue trima buat bersekolah disini. Terakhir kali kita
pisah sebelum gue ke Jakarta, dia kelihatan sedih baanget. Dan...” pembicaraan
Kristin terhenti dengan air mata yang turun meleleh di pipinya.
Spontan, Putra meraih Kristin dan
memeluknya, “Udah, gausah lo terusin. Gue tau ini emang berat”
Kristin terkejut akan apa yang anak
ini perbuat. Namun, Kristin merasakan dekapan ini sama hangatnya dengan yang
dulu. Kristin merasakan Aldo ada disisinya sekarang. Ia membenamkan wajahnya
pada dekapan Putra. Ia menangis terisak. “Ssst... udah dong. Ntar gue dikira
habis ngerusak kompi elo” candanya. Rengekan Putra sedikit membuat Kristin
tersenyum. Ia berhenti dari tangisnya, teringat kembali bahwa ia harus
mengikhlaskan kepergian Aldo. “Oh iya, nih. Udah bersih kompi lo. Makanya kalo
mau colok-colokin Flashdisk nakal kudu di scan dulu. Ngedonlot aja ga
milih-milih” ujar Putra dengan raut wajah manyun anak kecil.
“Iiihh elo deh!” teriak Kristin kecil
sambil mencubit lengan Putra. “Anyway, bayar brapa nih gue?”
“Haalahh... bayar, bayar... emang gue
tukang servis PLN apa?! Kaga usah lah” jawabnya santai.
“Makasih ya , Broh! Besok-besok main
lagi kesini” ucap Kristin senang.
.............
Liburan akhir semester satu adalah
hal yang sangat pantas didapatkan oleh Kristin. Bagaimana tidak? Prestasinya
kali ini benar-benar memuaskan. Kerja lemburnya tidak sia-sia. Dia menduduki
peringkat 4 paralel jurusan IPA di sekolahnya.
“Huffft, liburannya lama juga.
Enaknya ngapain ya? Mumpung minggu pertama liburan belum abis nih” ujarnya
berbicara sendiri. Terbesit di pikiran Kristin untuk berlibur ke Bogor. Namun
apa yang akan dikunjunginya disana? Disana sudah tidak terdapat hal yang bisa dikunjungi
menurutnya. Kristin berpikir cepat dan mendapat suatu ide yang cukup gila.
Bagaimana kalau dirinya mengajak Putra ke Bogor? Sekaligus menunjukkan siapa
Aldo sesungguhnya. Namun dirinya kembali berpikir, apakah perlu dirinya
melakukan itu.
Ah, mungkin hal ini bisa ia bicarakan
nanti bersama Putra. Hari libur masih ada dua minggu lagi. Mungkin hari ini ia
akan bermain dengan Putra.
Rumah kopi di dekat toko buku adalah
satu-satunya tempat paling nyaman dan tenang untuk berbincang. Pepohonan yang
rimbun dengan dekorasi tanaman-tanaman bonsai menyejukkan pandangan. Putra dan
Kristin berada disini sekarang. Menikmati hawa sejuk Senin pagi di hari libur.
“Eh gimana raport elo, Ra?” ucap
Kristin membuka pembicaraan.
“Hah? Oh, ya gitu deh” jawabnya
santai. “Biasa, standar anak SMK”.
“Ya gitu dehnya gimana? Elo jangan
ngomong gitu dong, semua sekolah sama kali, tergantung anaknya aja” jelas
Kristin.
“Hhahhaha, iya deh. Topiknya kok ngga
enak banget sih. Pagi-pagi ngopi, omongannya nilai raport” ujar Putra bercanda.
“Haahaha ya abisan akunya gada topik.
Nyeletuk aja gitu. Eh iya, kita liburan bareng yuk?” tawar Kristin pada Putra.
“Kemana? Kapan? Sama siapa? Naik
apaan?” jawab Putra bersemangat. Matanya berbinar-binar begitu mendengar kata
berlibur.
“Yaelah, sabar dulu deh. Kayak ga
pernah liburan aja”
“Iiih gue emang udah setaun ini kaga
pulang kampung tau!” jelas Putra dengan wajah manyun ala anak kecil.
“Hihi sorry deh. Emang kampung
halaman elo dimana?”
“Di Bogor. Kenapa? Mau nganterin gue
pulang kampung?” tanya Putra penasaran.
“Wah! Kebetulan banget!!! Gue juga
mau kesana kok?!” ucap Kristin senang.
“Whaa... bikin iri aja lo, ikut donk”
rengek Putra.
“Emang tadinya gue mau ajak elo, tapi
lo mau kagak?” tawar Kristin kembali.
“Seriusan? Bener? Yeeeeeeiii! Asyik
pulkam gratis! Ngomong-ngomong naik apaan ke sono?”tanya Putra. “Naik motor lo
aja, boncengan” jawab Kristin asal.
“Enak aja lo. Mau mati apa naik motor
ke sono. Kereta aja deh” tolak Putra.
“Kereta..... mahal ga ya?” tanya
Kristin.
“Ada kok yang murah, jadi kapan nih
mau pergi? Sama siapa aja? Ga sabar nih pulkam” ujarnya dengan raut wajah
gembira. “Rencananya sih mau sama nyokap, tapi kan kantor ga libur, Ra. Jadinya
dia ngebolehin aku ke Bogor sama temen. Disana sih juga ada bokap. Di rumah
yang dulu. Dan kalo gue pikir-pikir, lusa kita berangkat gimana?” jelas
Kristin.
“Boleh, brapa lama sih?” tanya Putra
lagi.
“Ya...., kira-kira ada seminggu lebih
lah, lumayan noh buat lo” jelas Kristin pada Putra.
“Oke” ucapnya senang.
.............................
Memang belum beberapa lama Kristin
meninggalkan Bogor sejak Aldo pergi. Tapi saat ia kembali ke kampung halamannya
itu, selalu ada yang berubah di setiap sisi, perubahannya pun sangat kontras.
Entah itu tatanan jalan atau bangunan-bangunan baru.
Lebih dulu ia mampir ke rumahnya
bersama Putra. Seperti biasanya, Kristin menyuruh Putra merubah penampilannya
jika berhadapan dengan siapapun yang berhubungan dengan Aldo. Apa mau dikata,
Putra memang seperti replika diri Aldo.
Kristin mengenalkan Putra pada
ayahnya. Putra pun disambut rasa berterima kasih oleh ayah Kristin, karena
sudah mau menemani Kristin ke Bogor. Walau secara tidak langsung, karena tujuan
Putra memang ingin pulang ke kampung halaman.
Letak rumah Putra dengan perumahan
tempat Kristin tinggal memang terlampau jauh. Singkatnya, kalau Kristin di
dalam kota, Putra ada di pinggiran kota.
Di suatu pagi, saat Kristin sedang
bersantai di teras rumahnya Putra muncul untuk bermain dengan Kristin. “Udah
pagi kali, pagernya masih di kunci ga jelas gini” sapa Putra. Membuat Kristin
sedikit kaget saat Putra mengetuk-ngetukkan gerendel pagar.
“Eh, hai! Sorry tadi soalnya bokap
gue baru berangkat ke kantor, trus gue kunci deh, biar ga ada yang ngeganggu”
jelasnya. “Percuma kali pager yang tingginya aja separo badan gue pake dikunci,
hahahah” Putra tertawa mendengar penjelasan Kristin.
Kemudian mereka berdua terlarut dalam
asyiknya perbincangan, mulai dari dimana sekolah mereka saat di Bogor,
kisah-kisah mereka tentang kampung halaman. Walau begitu, Putra yang lebih
sering bertanya tentang Kristin. Kadang raut wajah mereka berubah-ubah dalam
tiap pergantian cerita.
“Dan disebelah timur rumah gue ini,
rumahnya Aldo” ujar Kristin menunjukkan. Putra berdiri, sedikit berjinjit
melihat rumah itu dari tembok pembatas yang cukup tinggi.
“Oooh... sepi amat ya? Kok lo ga
bilang dari tadi sih? Gue kira rumah kosong lho” kata Putra.
“Yaelah kaya mau ngontrak rumah aja”
kata Kristin, “Mau liat?” lanjutnya.
“Emang boleh? Ada orangnya apa?”
tanya Putra bingung.
“Orang gue aja dulu masuk rumah ga
salam ga apa. Ya pasti boleh lah, tapi karna gue bawa elo, jadi harus sedikit
formal, hahahahah” jelasnya bercanda. “Lo bawa kacamata sama topi kan?” tanya
Kristin.
“Yah, ga bilang si. Cuma bawa kaca
mata doang” jawab Putra.
“Gampanglah, gue ada topi”
Sedikit repot memang kalau Putra ikut
Kristin. Apapun harus sesuai komando kalau ada sangkut pautnya dengan Aldo. Ibu
Aldo menyambut ramah mereka berdua, terlebih Kristin. Dan untung saja, beliau
sama sekali tidak menyadari ada replika almarhum anaknya tepat di depan
matanya.
Kristin langsung membawa Putra ke
kamar Aldo di atas. Sesampainya disana, Putra langsung melongo lebar-lebar, speechless. Tidak pernah dirinya melihat
kamar berisi puluhan jenis mainan. Mainan yang Kristin dan Aldo kumpulkan.
Kristin memulai kembali cerita
panjang tentang dirinya bersama Aldo. Mulai dari mengapa kamar ini menjadi
seperti ini dan yang lainnya. Putra hanya terperangan akan sosok Aldo yang
sangat berarti bagi Kristin.
“Lihat deh”, Kristin melepas kacamata
dan topi Putra, sekaligus mengacak-acak rambutnya yang tertidur karena topi
itu. Putra hanya menurut saja, terdiam kebingungan. Kemudian ia mengambil foto
Aldo yang terpigura, sudah cukup berdebu. “Sekarang elo ngaca, sambil jejerin
foto ini dideket muka elo” perintah Kristin. Putra melakukan apa yang
diperintah Kristin, dan hasilnya bisa ditebak. Putra kembali melongo, antara
kagum, namun bingung.
“Buseet,... berarti bener ya gue
mirip asli. Sumpah gue berasa hantunya dia deh” ungkapnya terdengar lucu.
“Itu makanya, lo inget pas kita
ketemu secara ga sengaja. Gue kaget setengah mati liat wujud elo sama kaya
Aldo”
“Terus harus njatohin BB yang bikin
gue uring-uringan buat mbalikinnya?” canda Putra. Mereka berdua tertawa
terbahak- bahak tentang kejadian tempo lalu. Kehangatan didalam ruangan itu
serupa dengan saat Kristin bersama Aldo. Makin sempurna dengan adanya
‘replika’nya disitu.
“Gue pengennya, kalo ada lagi orang
yang sebaik Aldo, yang mau juga menggantikan posisinya. Aku gamau kehilangan
orang itu lagi. Siapapun itu” jelas Kristin dengan nada suara lirih. Walaupun
harapannya itu merupakan hal yang tidak mungkin terjadi.
“Ah, gue juga ga mau ngilang, apalagi
buat ninggalin orang kaya elo”.
Kalimat yang Putra tuturkan membuat
Kristin terkejut, bagai tersambar petir. Antara kaget, bingung, namun senang
akan bunyi kalimat itu. Hanya saja dia belum tahu betul apa maksud dari kalimat
itu.
“Gue sendiri juga bingung. Baru kali
ini gue paling akrab sama anak cewek, paaaling akrab. Dan gue ngerasa nyaman.
Jujur, dari kecil gue ga pernah peduli sama urusan hati. Ya karena demi
cita-cita gue pengen sekolah di Jakarta. Tapi sejak liat elo di toko buku itu,
gue ngerasa ada yang beda muncul di pikiran gue. Terlebih saat gue kebingungan
mbalikin BB elo. Udah gitu elo juga ternyata orangnya baik, ceria, dan ga kaya
kebanyakan cewek yang lebay ga jelas gitu. Kejujuran elo tentang segala sesuatu
juga keren deh. Jadi, kalo aku boleh ngabulin statement kamu yang barusan tadi, gue usahain bisa bantu elo, ato
bahkan bisa terkabul sekarang sih” jelas Putra. Walaupun agak salah tingkah
dalam menyampaikannya, perasaan ini datang dari dalam hatinya.
Mendengarnya, Kristin begitu terharu.
Air mata bahagia membasahi pipinya yang merah merona. Diraihnya badan Putra,
dan dipeluknya, seerat kebahagiaanya sekarang.
“Makasih, makasih ya, Ra. Gue ga
nyangka, elo ternyata emang bukan sekedar ‘replika’nya. Elo bener-bener
menggantikan posisinya dengan takaran yang sama. Nggak lebih nggak kurang
darinya. Elo juga udah lebih dari membantu harapan gue barusan, bahakan elo
udah ngabulin permintaan gue. Makasih ya, Ra. Tapi elo janji kan ga bakal
ninggalin gue?” ucap Kristin dengan bahagianya.
Mendengar itu semua Putra juga merasa
bahagia. Belum pernah dirinya dipuji setinggi langit. “Duh, masa iya sih kita
ke Bogor bareng terus yang balik ke Jakarta cuma gue?” candanya.
“Dihhh, sempet aja lo bikin orang
ketawa” ucap Kristin sambil mencubit pipi gembul Putra. Mereka bedua tertawa,
sangat bahagia. “makasih ya, Ra”.
Matahari memang tidak akan terbit
kembali. Namun, cahaya dan kehangatan masih bersedia menemani. Bulan, bintang
dan hangatnya bumi menggantikan semua yang hilang. Itulah kebahagiaan yang
Kristin rasakan sekarang. kedua insan itu terbebas dari belenggu kesepian yang
mengikat mereka. Kristin juga tidak perlu mengulang hal yang sama seperti yang
ia lakukan dulu. Karena ada Putra disampingnya.
Memang sukar mengantikan kehangatan
matahari. Namun kecintaan akan itu semua mengembalikan kehangatan dan cahaya
itu. Semoga kebahagiaan tetap ada bersama mereka.
-FIN-