Wednesday, September 18, 2013

Death and I

When death comes
I’ll need not love –
Consumed,
No wreath or dove
Could offer me salvation,
Not when I’m no more.

A weathered stone will bear my name –
Identity of once a being
Living out existence in
A world of risk, and never seeing
Sense of why we’re here.

My genes will die away thro’ child –
Hue of eyes and hair, the way of thought,
Will quickly dim with generation –
Bow to future dominance –
Memories of provenance
Resigned to curious few.

When death comes
I’ll need not grace
Below; no grieving face
Will call my resurrection,
Not when I’m at ground –

Death and I so bound.

Copyright © Mark R Slaughter 2011

Tuesday, September 10, 2013

announcement

membaca cerpennya dari yang berjudul Till the Ends baru yang the Real duplicate dulu ya !!!

the Real duplicate


The Real Duplicate
By: Muhammad Reza Aldian

Rentetan gerbong yang begitu panjang menghantarkannya pada perhentian terakhir. Kristin sudah kembali ke Jakarta. Namun kabut kemuraman masih saja menyelimuti Kristin. Kehilangan seseorang yang kita sayangi, bukanlah hal yang mudah untuk dilewati. Itulah yang dirasakannya.
Tiap napas, langkah, dan tatapannya seakan tanpa warna. Semakin dipaksa semakin berat. Kristin memutuskan untuk tidak langsung pulang ke rumah.
Kini ia terduduk di sebuah kafe kecil yang sejuk, tetapi terlalu dingin untuk Kristin. Tas ransel tersandar di kursi kanannya. Minuman yang dia pesan dibiarkan mendingin. Kristin hanya memandangi tape recorder kecil milik Aldo, dan secarik foto masa lalu mereka.
Tali pertemanan yang amat erat membangun rasa kasih yang sangat besar. Begitulah yang mereka alami. Rasa itupun tidak pernah hilang hingga napas terakhir sahabat kecilnya. Tak terasa air mata meleleh membasahi pipinya. Kristin begitu menyesali perbuatannya.  Kenapa aku harus sekolah disini? Kenapa aku ninggalin Aldo? Ah, bodohnya aku, teriaknya dalam hati.
Senin pagi seharusnya menjadi hari yang cerah dan membuat masyarakat besemangat, justru tidak untuk Kristin. Langkahnya gontai menuju ke kelasnya. Kabar kematian Aldo hanya sampai ke telinga April, June, dan Ratna, sahabat-sahabat dekat Kristin. Mereka bertiga menyambut Kristin dengan hangat.
Hari seakan jauh lebih cepat bagi Kristin. Baru saja masuk sekolah, sekarang ia sudah duduk di kantin bersama ketiga temannya.
“Tin, elo jangan murung terus dong. Kita-kita kan jadi bingung mesti ngapain.” Ujar Ratna.
“Udah, gue gapapa, kok” balas Kristin lesu.
“Iya tapi sekarang lo mesti ikhlasin Aldo, Tin. Ini semua udah kejadianNya” timpal June.
Kristin menghargai perhatian ketiga temannya itu. Namun bagi Kristin sendiri, kata-kata mereka sangat tidak berguna. Malahan makin membuatnya terpuruk.
......
“Rasanya kamu perlu mama ijinkan beberapa hari untuk tidak masuk sekolah” tawar ibu Kristin. Melihat kondisi anaknya yang berubah total semenjak kepergian sahabat eratnya. “Kristin gapapa kok, mah. Masih kuat sekolah” ujarnya. “Tapi lihat, kamu pucat tiap hari, lesu, lemes. Gimana mama ga khawatir? Sudah nurut mama, tiga atau empat hari aja, oke?” tawar mamanya.
Mau tak mau, Kristin tidak bisa menolak kata-kata mama tercintanya. Dua hari hanya ia habiskan dikamarnya. Termenung di depan komputer, atau kadang memandangi secarik foto dirinya dan Aldo, memutar dan me-reverse berulang kali tape recordernya. Hal-hal yang tidak berguna dan membuatnya makin larut dalam kesedihannya.
Berpikir untuk lari dari semua kesedihan ini, Kristin berniat untuk keluar rumah. Ia harus mencari hiburan, ia harus menghilangkan bayang-bayang yang tak perlu diingatnya lagi. Tetapi tidak semudah yang ia kira. Di setiap saat ia berjalan, selalu saja ada ingatan tentang Aldo yang melintas didalam kepalanya. Hal ini membuat konsentrasi berjalan Kristin membuyar,”ah, lebih baik aku kembali ke rumah, daripada nanti terjadi kecelakaan konyol padaku” batinnya.
Empat hari itu sangat sia-sia bagi Kristin. Tidak ada perubahan signifikan dari pikirannya. Masih Aldo, dan Aldo lagi, setiap saat.
Kristin harus kembali masuk ke sokolah. Ia tidak mau meninggalkan banyak pelajaran penting. Apalagi, jurusan yang diambilnya adalah IPA. Mungkin saja empat hari itu sudah banyak tugas yang menggunung.
“Kristin!!!? Lo kenapa ga masuk sih kemaren? Lo sakit apaan?” serbu April saat Kristin masuk ke dalam kelas.
“Engga kok, lagi kepengen bolos aja” jawab Kristin sekenanya.
“Yaelah baru denger gue, anak pinter ngebolos tanpa alasan” cerca April.
“Yehh sok tau lo, Pril! Orang di surat ijinnya aja sakit, kok” timpal salah satu temannya pada April.
“Eh, masa?”
“Wah, jangan-jangan elo yang bolos nih, Pril?” tambah Kristin.
“Iiihh... engga lah. Orang gue masuk terus kok. Guenya kali ya yang ga tau kalo elo ijin pake surat” jelas April.
Pagi ini membuat Kristin sedikit melupakan masalahnya. Banyolan teman-temannya sudah cukup membuat Kristin tersenyum, bahkan tertawa terbahak-bahak. Apalagi, pelajaran kimia favoritnya, yang notabene memakan konsentrasi tinggi, sudah sangat berguna untuk menggantikan posisi masalahnya dengan angka-angka dan rumus.
Saat sedang istirahat, April dan salah satu temannya, Sri, sedang berbincang tentang keadaan Kristin. “Akhirnya ya Sri. Kristin bisa senyum lagi” ujar April lega.
“Iya lho,Pril. Usahakan dia seger terus sampai besok-besok. Enek juga liat dia jutek. Hahaha” balas Sri dengan dialek Jakarta berlogat Jawa yang terdengar lucu.
Hari ini dan hari seterusnya, bahkan hingga sekarang. Kristin sudah kembali seperti semula. Ia sudah sadar dari kemuramannya selama berminggu-minggu. Ia sudah kembali menjadi Kristin, walaupun tanpa ada Aldo disampingnya.
Hari ini sabtu, hari bebas baginya. Saatnya keluar rumah untuk cuci mata. Kristin berencana mengunjungi sebuah pertunjukkan musik jazz di salah satu kafe bersama April. Namun apadaya, karena April sakit, ia tidak jadi mengunjungi pertunjukkan musik tersebut. Maka Kristin memilih untuk mengunjungi toko buku.
Sesampainya disana, mata Kristin benar-benar melek. Sudah sekian lama ia tidak membaca buku. Ia langsung menyatroni satu persatu rak buku dengan berbagai kategori. Hampir semua ia hampiri, entah itu novel, komik, biografi.
Namun memang nasib yang kurang mujur. Ia menemukan komik kesukaan Aldo. Komik detektif Conan. Sebuah komik itu langsung membuka kotak memori Kristin tentang Aldo. Mungkin kalau dia masih ada, seri komiknya pasti lengkap sampai edisi baru ini, batin Kristin. Ia pernah ingat, waktu SMP Aldo pernah berkata “Nih nanti aku bakal jadi detektif sekeren Conan” dengan sangat bangganya. Membuat Kristin merasa aneh melihat Aldo mupeng dan berandai-andai tidak jelas. Memikirkan itu Kristin jadi tertawa sendiri.
Bosan, menimbang-nimbang komik tersebut dan mengembalikannya ke tempat semula. Kristin mulai beralih ke rak yang lain. Namun, tanpa disengaja Kristin menabrak seseorang. Mereka berdua terjerembap. Barang-barang yang ada di dalam tas Kristin pun berantakan.
“Aduh, sori-sori, maaf ga sengaja” ujar Kristin panik sembari membereskan barangnya. Semua sudah kembali ke dalam tasnya, tetapi seperti ada yang kurang.
“Eh iya gapapa aku yang salah. Ini hape kakak” kata orang tadi sambil menyodorkan ponsel milik Kristin.
Nah, ini dia yang kucari-cari, batin Kristin. “Makasih ya. Sekali lagi maaf” ucap Kristin sambil berusaha berdiri. Kristin menerima ponsel itu, mengamati apakah ada kerusakan atau tidak. “Hape kakak gapapa kan?” ujar anak itu.
 Kristin menolehkan wajahnya pada anak itu, berniat memberi senyuman rasa terima kasih dan menandakan bahwa ponselnya baik-baik saja. Namun semburat senyum itu hilang ketika Kristin melihat wajah anak itu.
Seketika tubuh Kristin lemas. Mungkin kakinya serasa tidak dapat menopang berat badannya. Wajah anak itu sangat mirip dengan Aldo! Tidak hanya itu, mulai dari perawakan hingga caranya melihat sesuatu dilakukannya persis seperti Almarhum Aldo. Ini membuat air mata Kristin meleleh dalam tatapannya yang kosong. Speechless dengan apa yang dilihatnya. Ini mimpikah? Atau dia hantu?, pikirannya sungguh sangat kacau.
“Eh? Hapenya rusak? Aduh maaf ya nanti saya ganti deh, kak” ucap bocah berseragam SMK itu panik.”Atau nanti saya benerin deh, saya bisa kok”
Kristin hanya menunduk untuk menutupi tangisannya. Ia hanya menggeleng menjawab pertanyaan itu. “terus kenapa kak? Aduh, jangan nangis dong, nanti dikira saya ngapa-ngapain kakak” ucap anak itu makin gelisah. Membuat Kristin sadar keadaan dirinya telah membuat anak itu panik.
Namun kesadarannya tak bertahan lama ketika Kristin kembali menatap wajah anak itu. Pikirannya kembali kacau dan keluarlah kata-kata yang mulai rancu. “Aldo..”ucap Kristin lirih.
“Apa? Oh saya bukan Aldo, kak. Saya Putra” balas anak itu dengan lugunya. Kristin kembali menunduk, sadar apa yang dilakukannya salah sasaran. “Oh maaf,.” Dengan cepat Kristin pergi meninggalkan bocah bernama Putra itu, sambil berusaha menutupi bekas-bekas air matanya.
Putra terdiam bingung. “ada yang ngga beres apa ya sama orang itu? Udah jelas-jelas nama gue Putra dipanggilnya Aldo. Kebagusan tau... hahaha” ucapnya sambil pergi meninggalkan tempat itu. Langkah Putra terhenti ketika melihat sebuah benda tergeletak dilantai.” Eh? BB? Ini punya siapa sih? Rasanya yang kukasihin tadi hape Andro” gumanya bertanya-tanya. Memastikan kepemilikan ponsel tersebut, Putra segera mengutak-atik ponsel tersebut. Pertama membuka BBM, ia menemukan nama Kristin Dianasri dan pin BB-nya, tetapi belum ada kejelasan foto diri karena foto yang dipasang bukan foto orang tadi.”Oh jadi namanya Kristin” ucapnya sambil mengangguk tahu. Belum puas, ia membuka media, dia menemukan foto yang wajahnya sama dengan Kristin. Wah benar ini milik cewek tadi, batinnya.”Gimana balikinnya ya? Mana orangnya udah pergi. Uhhh dungu banget sih” umpatnya.
......
Kristin duduk terdiam diatas ranjangnya. Ia semakin bingung akan apa yang di alaminya hari ini. Bayangkan saja, anak itu hampir kembar dengan Aldo, wajah, tinggi badan, badan kingkongnya juga sama menurut Kristin. Bahkan Kristin hampir mengira kalau Aldo tidak jadi meninggal. Ah, ini sungguh membuat gundah, batinnya. Kristin merapatkan kedua kakinya karena malam semakin dingin. Dilihatnya jam dinding menunjukkan angka dua belas lewat.
“Siapa ya yang masih bangun jam segini? Bbm April, ah” Kristin berbicara sendiri. Ia beranjak dari kasurnya dan segera merogoh tas selempangnya. Akan tetapi ia tidak menemukan blackberry-nya didalam. “Hah? Kok ga ada?” Kristin mulai bingung. Ia menumpahkan segala benda yang ada didalam tas itu namun tidak ada BB miliknya sama sekali. “Apa tadi jatoh ya? Aduh gawat nih kalo sampe ilang, mama ga bakalan beliin aku BB lagi” Kristin uring-uringan sendiri.
Keesokan paginya disekolah. Ia bercerita dengan ketiga teman setianya tentang BB-nya yang hilang. “Lho kok bisa ilang sih, Tin?” tanya April. “Kayaknya sih kemaren jatoh deh pas di toko buku, soalnya kemaren gue nabrak...”
“Nabrak? Nabrak apaan? Jangan bilang lo keasyikan baca sambil jalan terus nabrak mas-mas yang jaga toko buku deh” terka April asal.
Kristin bingung harus bilang apa tentang kejadian kemarin. Bisa-bisa kejadian itu menjadi bahan empuk gosipan mereka bertiga, atau malah mereka bisa mengira dirinya terlalu depresi. “Engga-engga, gue lagi meleng aja jalannya, terus nabrak orang deh. Emang kemaren gue lagi ngantuk banget” jelas Kristin berbohong.
“Yaelah, kalo ngantuk yang ada mah tidur kali, Tin. Ini malah ngeloyor ke toko buku” ucap April sedikit bercanda. “Yaudah lah, pulang sekolah kita cari disana. Siapa tau ada di pusat anak ilang” candanya lagi. “Wah somplak otak lo!” balas Kristin.
Sementara di sekolah, Putra sibuk memikirkan bagaimana cara mengembalikan ponsel mahal itu pada pemiliknya. Sejak tadi ia terus menerus membolak-balik ponsel tersebut sembari berpikir.
“Buset dahh! Hape baru, Ra?” tanya seorang temannya. Membuat Putra sedikit terkejut.
“Enggaak! Sejarah mana sih yang nyebutin anak kos bisa beli hape mahal? Bego lo, ngagetin gue aja” gerutunya. Putra adalah anak paling bisa membanyol di sekolahnya. Tak jarang apabila sekolah mengadakan suatu acara yang membutuhkan MC, pasti Putra yang dikejar. Dirinya juga memimpin ekstrakurikuler elektronika di SMK-nya. Digilai teman-temannya sudah pasti. Setiap ditanya, jawabannya pasti “Dimana lagi servis pc dengan harga super miring kalo ga ke Putra”.
 Hal ini pun sangat menolong Putra yang bersandangkan ‘anak kos paling nelangsa’. Karena orang tuanya hanya mengirim uang SPP dan bayaran kos. Uang hasil bayaran servisnya bisa ia gunakan untuk makan dan lainnya. Masalah panggilan ‘Ra’ pun ada sebabnya. Karena namanya adalah Rama Putrasaka. Sempat galau mengenai nama panggilannya,karena dirinya menyukai kesederhanaan, ia lebih menyukai nama ‘Putra’ dari bagian lengkap namanya. Jika mau dipanggil ‘Ram’ katanya nanti berkesan seperti om-om, mau dipanggil Sak nanti meleset jadi suck. Mau di panggil ‘Ka’ ia bilang terlalu keren, bisa-bisa ia dikira kakak kelas. Kalau ‘Put’ nanti dikira cewek. Dan banyak alasan lain yang membuatnya terpaksa memilih ‘Ra’ sebagai panggilannya.
“Ini hape orang, kemaren di toko buku gue habis ditabrak sama cewek meleng, tau deh mikirin apa. Jelas-jelas gue lagi mematung sambil baca buku disampingnya. Katarak kali tuh” sambungnya.
“ Wah, kesempatan tuh, Ra. Jodoh buat mengakhiri hidup jomblo elo” ucap temannya. “Kampret lo, Jo!” bentaknya sambil melemparkan buku.
Dengan tekad bulatnya mengembalikan ponsel itu. Putra berniat kembali ke toko buku tersebut sepulang sekolah. Di tempat yang sama, posisi yang sama dan rak buku yang sama. Matanya menyapu seisi ruangan mencari Kristin, namun tak kunjung ditemukannya. Sudah satu jam ia disana. Putra tidak mau menyimpan ponsel itu lebih lama, karena dapat mempersempit kamarnya yang penuh dengan CPU rusak yang perlu di servis. Dan, satu jam menunggu ternyata tidak sia sia. Ia menemukan dua orang perempuan berseragam SMA yang diantaranya adalah si Kristin. Mereka bertiga sibuk memeriksa setiap section untuk menemukan rak yang kemarin dikunjunginya.
“Nah, itu. Dateng juga” ucapnya lega. Putra mendapati Kristin bersamaan dengan Kristin mendapatinya. Kristin terdiam, tak tahu harus bicara dari mana. April pun juga ikut bingung akan apa yang dilihatnya, dan ia histeris sendiri. “Astaga ya Tuhan! Tin setan, Tin! Tin!” ucapnya sambil menarik-narik lengan baju Kristin. Ini tambah membuatnya bingung bagaimana dirinya menjelaskan tentang Aldo kedua ini.
“Maaf, kak. Ini hapenya, kemaren belum kepungut pas jatoh. Jadinya aku simpen dulu. Pasti nyariin, maaf ya?” ucapnya sambil menyodorkan blackberry itu. Namun raut wajahnya makin bingung ketika melihat perempuan yang satunya melongo lebar-lebar melihat dirinya. Akhrinya Kristin memberanikan diri untuk berbicara.”Ma..Makasih ya. Eenng.. soal temenku ini bisa aku jelasin. Jadi jangan kebingungan gitu” ucapnya dengan suara serak sekenanya.
Kini mereka bertiga duduk di kafe kopi yang terletak tidak jauh dari toko buku itu. Belum ada yang berani memulai pembicaraan. April masih melongo, Kristin sibuk memainkan kuku jarinya karena gugup, dan Putra kebingungan, melihat kedua wanita ini bergantian. Kristin mengambil dompetnya dan mengeluarkan sebuah foto. Foto dirinya bersama Aldo yang diambil tepat 10 hari sebelum Aldo pergi, dimana Aldo saat itu pulih untuk sementara. Foto itu diberikannya pada Putra. Seketika itu juga, mata Putra terbelalak melihat secarik foto tersebut.
“Hah??? Sejak kapan aku foto sama kakak?” tanyanya terkejut.
“gausah panggil kakak, Kristin aja. Lagian kita nampak seumuran. Dan ini, April” ucapnya mengenalkan April. “Dan soal siapa yang ada di foto itu, namanya Aldo. Temen aku sejak kecil. Dia udah ga ada beberapa bulan lalu” jelasnya dengan nada merendah.
“Oooh.. maaf. Tapi beneran deh, ini gue berasa ngaca di cermin. Kok bisa mirip ya?” ucapnya dengan gaya bicara yang mulai menyesuaikan. Putra memang begitu, jika kepada orang yang belum dikenalnya, ia selalu berbicara dengan bahasa formal. Tapi jika sudah mulai mengenal, gaya bahasanya berubah langsung seperti dengan teman sendiri.
“Sumpah ya, Tin. Gue kira anak ini tuh hantu. Liat coba, dari atas sampe bawah ga ada bedanya” ucap April meyakinkan. Memang benar, jika Kristin mengamatinya, Putra benar-benar seperti replika dari Aldo. Dan iya juga yakin ini memang layaknya replika. Pasalnya, ia tahu pada saat upacara kematian Aldo, Aldo lah yang ada didalam peti itu, hingga dikuburkan, peti itu sudah terkunci rapat.
“Oiya, kamu sekolah dimana, Put?” tanya April.
“Ngg... di SMK Pancasila. Tapi maaf nih sebelumnya, kalo mau manggil aku jangan Put dong” pinta Putra sedikit merengek. “Terus kamu maunya dipanggil apa?” tanya April lagi. “Pake ‘Ra’ aja” jelas Putra.
Perkenalan secara tidak disengaja ini berlangsung cukup lama. Dengan kisaran dua bulan saja, Kristin dan Putra sudah sangat akrab. Namun saat Putra bermain ke rumah Kristin, ia dianjurkan Kristin untuk menyamarkan penampilan wajahnya sebelum masuk ke rumah. Sederhana saja, kacamata dan dan topi yang dipakai terbalik sudah cukup membuat tampilan Putra berbeda. Pasalnya, kalau mama Kristin mendapati Putra tanpa makeover sederhana, beliau bisa pingsan melihat ‘hantu’ Aldo.
Suatu hari, pada saat Putra sedang ada di rumah Kristin dalam rangka membersihkan komputer Kristin dari virus yang tak pernah ada mampusnya. Putra iseng menanyakan sesuatu tentang Aldo pada Kristin.
“Tin, gue penasaran deh. Sebenernya, Aldo orangnya itu kayak apa sih? Kayaknya sangat istimewa bagi lo. Liat deh, fotonya aja ada di tiap sudut meja belajar lo” tanya Putra sembari mengutak-atik komputer. “Maaf sebelumnya, kalo pertanyaan gue udah bikin lo ga enak. Ga usah dijawab gapapa kok”.
“Hahahaha. Putra...Putra.. Gapapa lah lagian gue udah bisa nerima kenyataan. Gue yakin Aldo disana lebih bahagia, apalagi liat gue sekarang yang udah selalu berdoa buat dia. Ya walaupun gue orang yang ngga rajin ibadah. Aldo itu ketemu gue pada saat gue berumur 5 tahunan. Dia baru aja pindah ke rumah kosong tepat disebelah rumah gue dulu. Anaknya tuh dulu lugu luar biasa, susah banget yang namanya berteman. Temen aja dia milih, dan gue temen pertamanya yang paling deket sama dia” jelas Kristin sambil tersenyum mengingat segala hal.
“Kemana-mana pasti kita selalu bareng. Sampe dia milih untuk satu SD sama aku. Bahkan SMP aja bareng lagi. Yang unik darinya itu, sikap childish-nya yang ga pernah ilang sampe kita lulus SMP. Di kamarnya itu kita ngumpulin mainan bareng-bareng. Separo dari mainan gue ada di kamarnya, tapi gimanapun tetep jumlah mainannya yang lebih banyak. Walaupun dia sedikit manja, dia hampir tidak pernah berbuat kesalahan sama gue. Itu yang bikin gue sayang sama dia. Cuma, guenya yang berbuat hal bodoh sama dia. Karena PMDK yang gue trima buat bersekolah disini. Terakhir kali kita pisah sebelum gue ke Jakarta, dia kelihatan sedih baanget. Dan...” pembicaraan Kristin terhenti dengan air mata yang turun meleleh di pipinya.
Spontan, Putra meraih Kristin dan memeluknya, “Udah, gausah lo terusin. Gue tau ini emang berat”
Kristin terkejut akan apa yang anak ini perbuat. Namun, Kristin merasakan dekapan ini sama hangatnya dengan yang dulu. Kristin merasakan Aldo ada disisinya sekarang. Ia membenamkan wajahnya pada dekapan Putra. Ia menangis terisak. “Ssst... udah dong. Ntar gue dikira habis ngerusak kompi elo” candanya. Rengekan Putra sedikit membuat Kristin tersenyum. Ia berhenti dari tangisnya, teringat kembali bahwa ia harus mengikhlaskan kepergian Aldo. “Oh iya, nih. Udah bersih kompi lo. Makanya kalo mau colok-colokin Flashdisk nakal kudu di scan dulu. Ngedonlot aja ga milih-milih” ujar Putra dengan raut wajah manyun anak kecil.
“Iiihh elo deh!” teriak Kristin kecil sambil mencubit lengan Putra. “Anyway,  bayar brapa nih gue?”
“Haalahh... bayar, bayar... emang gue tukang servis PLN apa?! Kaga usah lah” jawabnya santai.
“Makasih ya , Broh! Besok-besok main lagi kesini” ucap Kristin senang.
.............
Liburan akhir semester satu adalah hal yang sangat pantas didapatkan oleh Kristin. Bagaimana tidak? Prestasinya kali ini benar-benar memuaskan. Kerja lemburnya tidak sia-sia. Dia menduduki peringkat 4 paralel jurusan IPA di sekolahnya.
“Huffft, liburannya lama juga. Enaknya ngapain ya? Mumpung minggu pertama liburan belum abis nih” ujarnya berbicara sendiri. Terbesit di pikiran Kristin untuk berlibur ke Bogor. Namun apa yang akan dikunjunginya disana? Disana sudah tidak terdapat hal yang bisa dikunjungi menurutnya. Kristin berpikir cepat dan mendapat suatu ide yang cukup gila. Bagaimana kalau dirinya mengajak Putra ke Bogor? Sekaligus menunjukkan siapa Aldo sesungguhnya. Namun dirinya kembali berpikir, apakah perlu dirinya melakukan itu.
Ah, mungkin hal ini bisa ia bicarakan nanti bersama Putra. Hari libur masih ada dua minggu lagi. Mungkin hari ini ia akan bermain dengan Putra.
Rumah kopi di dekat toko buku adalah satu-satunya tempat paling nyaman dan tenang untuk berbincang. Pepohonan yang rimbun dengan dekorasi tanaman-tanaman bonsai menyejukkan pandangan. Putra dan Kristin berada disini sekarang. Menikmati hawa sejuk Senin pagi di hari libur.
“Eh gimana raport elo, Ra?” ucap Kristin membuka pembicaraan.
“Hah? Oh, ya gitu deh” jawabnya santai. “Biasa, standar anak SMK”.
“Ya gitu dehnya gimana? Elo jangan ngomong gitu dong, semua sekolah sama kali, tergantung anaknya aja” jelas Kristin.
“Hhahhaha, iya deh. Topiknya kok ngga enak banget sih. Pagi-pagi ngopi, omongannya nilai raport” ujar Putra bercanda.
“Haahaha ya abisan akunya gada topik. Nyeletuk aja gitu. Eh iya, kita liburan bareng yuk?” tawar Kristin pada Putra.
“Kemana? Kapan? Sama siapa? Naik apaan?” jawab Putra bersemangat. Matanya berbinar-binar begitu mendengar kata berlibur.
“Yaelah, sabar dulu deh. Kayak ga pernah liburan aja”
“Iiih gue emang udah setaun ini kaga pulang kampung tau!” jelas Putra dengan wajah manyun ala anak kecil.
“Hihi sorry deh. Emang kampung halaman elo dimana?”
“Di Bogor. Kenapa? Mau nganterin gue pulang kampung?” tanya Putra penasaran.
“Wah! Kebetulan banget!!! Gue juga mau kesana kok?!” ucap Kristin senang.
“Whaa... bikin iri aja lo, ikut donk” rengek Putra.
“Emang tadinya gue mau ajak elo, tapi lo mau kagak?” tawar Kristin kembali.
“Seriusan? Bener? Yeeeeeeiii! Asyik pulkam gratis! Ngomong-ngomong naik apaan ke sono?”tanya Putra. “Naik motor lo aja, boncengan” jawab Kristin asal.
“Enak aja lo. Mau mati apa naik motor ke sono. Kereta aja deh” tolak Putra.
“Kereta..... mahal ga ya?” tanya Kristin.
“Ada kok yang murah, jadi kapan nih mau pergi? Sama siapa aja? Ga sabar nih pulkam” ujarnya dengan raut wajah gembira. “Rencananya sih mau sama nyokap, tapi kan kantor ga libur, Ra. Jadinya dia ngebolehin aku ke Bogor sama temen. Disana sih juga ada bokap. Di rumah yang dulu. Dan kalo gue pikir-pikir, lusa kita berangkat gimana?” jelas Kristin.
“Boleh, brapa lama sih?” tanya Putra lagi.
“Ya...., kira-kira ada seminggu lebih lah, lumayan noh buat lo” jelas Kristin pada Putra.
“Oke” ucapnya senang.
.............................
Memang belum beberapa lama Kristin meninggalkan Bogor sejak Aldo pergi. Tapi saat ia kembali ke kampung halamannya itu, selalu ada yang berubah di setiap sisi, perubahannya pun sangat kontras. Entah itu tatanan jalan atau bangunan-bangunan baru.
Lebih dulu ia mampir ke rumahnya bersama Putra. Seperti biasanya, Kristin menyuruh Putra merubah penampilannya jika berhadapan dengan siapapun yang berhubungan dengan Aldo. Apa mau dikata, Putra memang seperti replika diri Aldo.
Kristin mengenalkan Putra pada ayahnya. Putra pun disambut rasa berterima kasih oleh ayah Kristin, karena sudah mau menemani Kristin ke Bogor. Walau secara tidak langsung, karena tujuan Putra memang ingin pulang ke kampung halaman.
Letak rumah Putra dengan perumahan tempat Kristin tinggal memang terlampau jauh. Singkatnya, kalau Kristin di dalam kota, Putra ada di pinggiran kota.
Di suatu pagi, saat Kristin sedang bersantai di teras rumahnya Putra muncul untuk bermain dengan Kristin. “Udah pagi kali, pagernya masih di kunci ga jelas gini” sapa Putra. Membuat Kristin sedikit kaget saat Putra mengetuk-ngetukkan gerendel pagar.
“Eh, hai! Sorry tadi soalnya bokap gue baru berangkat ke kantor, trus gue kunci deh, biar ga ada yang ngeganggu” jelasnya. “Percuma kali pager yang tingginya aja separo badan gue pake dikunci, hahahah” Putra tertawa mendengar penjelasan Kristin.
Kemudian mereka berdua terlarut dalam asyiknya perbincangan, mulai dari dimana sekolah mereka saat di Bogor, kisah-kisah mereka tentang kampung halaman. Walau begitu, Putra yang lebih sering bertanya tentang Kristin. Kadang raut wajah mereka berubah-ubah dalam tiap pergantian cerita.
“Dan disebelah timur rumah gue ini, rumahnya Aldo” ujar Kristin menunjukkan. Putra berdiri, sedikit berjinjit melihat rumah itu dari tembok pembatas yang cukup tinggi.
“Oooh... sepi amat ya? Kok lo ga bilang dari tadi sih? Gue kira rumah kosong lho” kata Putra.
“Yaelah kaya mau ngontrak rumah aja” kata Kristin, “Mau liat?” lanjutnya.
“Emang boleh? Ada orangnya apa?” tanya Putra bingung.
“Orang gue aja dulu masuk rumah ga salam ga apa. Ya pasti boleh lah, tapi karna gue bawa elo, jadi harus sedikit formal, hahahahah” jelasnya bercanda. “Lo bawa kacamata sama topi kan?” tanya Kristin.
“Yah, ga bilang si. Cuma bawa kaca mata doang” jawab Putra.
“Gampanglah, gue ada topi”
Sedikit repot memang kalau Putra ikut Kristin. Apapun harus sesuai komando kalau ada sangkut pautnya dengan Aldo. Ibu Aldo menyambut ramah mereka berdua, terlebih Kristin. Dan untung saja, beliau sama sekali tidak menyadari ada replika almarhum anaknya tepat di depan matanya.
Kristin langsung membawa Putra ke kamar Aldo di atas. Sesampainya disana, Putra langsung melongo lebar-lebar, speechless. Tidak pernah dirinya melihat kamar berisi puluhan jenis mainan. Mainan yang Kristin dan Aldo kumpulkan.
Kristin memulai kembali cerita panjang tentang dirinya bersama Aldo. Mulai dari mengapa kamar ini menjadi seperti ini dan yang lainnya. Putra hanya terperangan akan sosok Aldo yang sangat berarti bagi Kristin.
“Lihat deh”, Kristin melepas kacamata dan topi Putra, sekaligus mengacak-acak rambutnya yang tertidur karena topi itu. Putra hanya menurut saja, terdiam kebingungan. Kemudian ia mengambil foto Aldo yang terpigura, sudah cukup berdebu. “Sekarang elo ngaca, sambil jejerin foto ini dideket muka elo” perintah Kristin. Putra melakukan apa yang diperintah Kristin, dan hasilnya bisa ditebak. Putra kembali melongo, antara kagum, namun bingung.
“Buseet,... berarti bener ya gue mirip asli. Sumpah gue berasa hantunya dia deh” ungkapnya terdengar lucu.
“Itu makanya, lo inget pas kita ketemu secara ga sengaja. Gue kaget setengah mati liat wujud elo sama kaya Aldo”
“Terus harus njatohin BB yang bikin gue uring-uringan buat mbalikinnya?” canda Putra. Mereka berdua tertawa terbahak- bahak tentang kejadian tempo lalu. Kehangatan didalam ruangan itu serupa dengan saat Kristin bersama Aldo. Makin sempurna dengan adanya ‘replika’nya disitu.
“Gue pengennya, kalo ada lagi orang yang sebaik Aldo, yang mau juga menggantikan posisinya. Aku gamau kehilangan orang itu lagi. Siapapun itu” jelas Kristin dengan nada suara lirih. Walaupun harapannya itu merupakan hal yang tidak mungkin terjadi.
“Ah, gue juga ga mau ngilang, apalagi buat ninggalin orang kaya elo”.
Kalimat yang Putra tuturkan membuat Kristin terkejut, bagai tersambar petir. Antara kaget, bingung, namun senang akan bunyi kalimat itu. Hanya saja dia belum tahu betul apa maksud dari kalimat itu.
“Gue sendiri juga bingung. Baru kali ini gue paling akrab sama anak cewek, paaaling akrab. Dan gue ngerasa nyaman. Jujur, dari kecil gue ga pernah peduli sama urusan hati. Ya karena demi cita-cita gue pengen sekolah di Jakarta. Tapi sejak liat elo di toko buku itu, gue ngerasa ada yang beda muncul di pikiran gue. Terlebih saat gue kebingungan mbalikin BB elo. Udah gitu elo juga ternyata orangnya baik, ceria, dan ga kaya kebanyakan cewek yang lebay ga jelas gitu. Kejujuran elo tentang segala sesuatu juga keren deh. Jadi, kalo aku boleh ngabulin statement kamu yang barusan tadi, gue usahain bisa bantu elo, ato bahkan bisa terkabul sekarang sih” jelas Putra. Walaupun agak salah tingkah dalam menyampaikannya, perasaan ini datang dari dalam hatinya.
Mendengarnya, Kristin begitu terharu. Air mata bahagia membasahi pipinya yang merah merona. Diraihnya badan Putra, dan dipeluknya, seerat kebahagiaanya sekarang.
“Makasih, makasih ya, Ra. Gue ga nyangka, elo ternyata emang bukan sekedar ‘replika’nya. Elo bener-bener menggantikan posisinya dengan takaran yang sama. Nggak lebih nggak kurang darinya. Elo juga udah lebih dari membantu harapan gue barusan, bahakan elo udah ngabulin permintaan gue. Makasih ya, Ra. Tapi elo janji kan ga bakal ninggalin gue?” ucap Kristin dengan bahagianya.
Mendengar itu semua Putra juga merasa bahagia. Belum pernah dirinya dipuji setinggi langit. “Duh, masa iya sih kita ke Bogor bareng terus yang balik ke Jakarta cuma gue?” candanya.
“Dihhh, sempet aja lo bikin orang ketawa” ucap Kristin sambil mencubit pipi gembul Putra. Mereka bedua tertawa, sangat bahagia. “makasih ya, Ra”.
Matahari memang tidak akan terbit kembali. Namun, cahaya dan kehangatan masih bersedia menemani. Bulan, bintang dan hangatnya bumi menggantikan semua yang hilang. Itulah kebahagiaan yang Kristin rasakan sekarang. kedua insan itu terbebas dari belenggu kesepian yang mengikat mereka. Kristin juga tidak perlu mengulang hal yang sama seperti yang ia lakukan dulu. Karena ada Putra disampingnya.
Memang sukar mengantikan kehangatan matahari. Namun kecintaan akan itu semua mengembalikan kehangatan dan cahaya itu. Semoga kebahagiaan tetap ada bersama mereka.
-FIN-


Till the Ends



Sampai Sirna (till the ends)
Oleh: M. Reza Aldian x7/24
Siapa yang menyangka kalau pagi ini adalah pagi yang terasa baru bagi Kristin. Rumah sebelah yang semula kosong sekarang sudah ada yang menempati. Rasa penasaran mendorong tubuh kecil Kristin untuk melihat siapa tetangga barunya itu.
Melalui tembok pembatas yang sedang, Kristin melihat tetangga baru itu sedang membenahi rumah. Memang hal yang biasa Kristin lihat, karena hampir seminggu sekali ada warga baru yang pindah ke rumahnya. Asyik melihat perabotan rumah yang masih berantakan di halaman rumah, ada sesuatu yang lebih memikat matanya. Seorang lelaki kecil tengah berdiri di depan pagar rumah. Ia memegang sebuah mobil mainan di tangan kanannya, memandangi kotak surat yang bentuknya unik.
Tanpa perintah Kristin berlari ke arahnya. “Hai! Aku Kristin, kamu siapa?”, ucapnya penuh percaya diri sambil memberikan tangannya. Mengetahui itu Aldo menundukkan kepalanya dengan malu. “Nggak papa, Kristin”, ulang Kristin.
“A...Aku Aldo”, katanya dengan suara malu-malu. Dengan polosnya Kristin mengajak Aldo untuk main ke rumahnya.
Sesampainya dirumah, Kristin langsung mengenalkan tetangga barunya itu kepada orang tuanya. Kristin dan keluarganya selalu menerima warga baru dengan baik. Tak heran kalau keluarga Kristin sangat dikenal dengan keramahannya. Dengan segera, keluarga Kristin akrab dengan keluarga Aldo.
Aldo dan Kristin berteman dengan baik. Aldo sekarang bersekolah dimana Kristin juga disana. Sebagai warga baru sekaligus murid baru di sekolah, Aldo semakin kesulitan bergaul. Namun begitu Kristin dengan senang hati membantu Aldo beradaptasi dengan lingkungan sekolahnya. Begitu seterusnya hingga kelas 4 SD. Memang agak terkesan aneh, kemana-mana mereka selalu berdua. Dimana ada Kristin, tidak jauh darinya pasti ada Aldo. Bahkan keduanya sempat menjadi bahan olok-olokan teman sekolah. Namun mereka tidak pernah memedulikannya, hingga akhirnya Aldo sudah bisa mengenal siapapun baik di sekolah maupun lingkungan rumah.
“Thanks ya Tin, ga kebayang kalo aku ga pindah di sebelah rumahmu. Bisa-bisa aku anak kuper, ha ha ha ha”. katanya pada Kristin.
“Ah gapapa. Toh kita kan teman”, kata Kristin tersenyum pada Aldo.
Setiap hari Kristin bermain di rumah Aldo. Hari-hari dihabiskannya di kamar Aldo.  Jangan berpikir negatif, mereka hanya bermain mainan yang ada. Hampir tiap waktu ada beberapa mainan baru. Semuanya adalah milik mereka berdua, sebagian mainan Kristin ada di kamar Aldo.
Persahabatan mereka berlanjut hingga SMP. Mereka kembali masuk di sekolah yang sama. Kedekatannya pun semakin intim saja. Kristin sudah menganggap Aldo sebagai saudara sendiri. Berangkat dan pulang sekolah selalu bersama. Prestasi mereka pun selalu berimbang di sekolah, kalau tidak menduduki peringkat tiga besar, paling tidak mereka ada di lima besar.
Pernah suatu ketika teman Kristin menanyakan soal kedekatannya dengan Aldo.
“ Tin, sebenernya tuh gue bingung sama lo berdua”, tanya temannya dengan nada mengintimidasi. Namanya June.
“ Dih apaan si? Gue sama siapa emang?”jawab Kristin dengan santainya.
“Ya lo sama Aldo lah. Siapa lagi sih yang setiap hari sering pergi bareng sama lo? Udah jadi rahasia umum kali kedeketan lo sama dia.” Terang June.
“Hah? Gitu doang lo pertanyakan sampe sekarang? Aduh June kudet banget sih lo, gue sama Aldo tuh Cuma tetanggaaan doang. Soal kita deket sampe sekarang mah orang kita udah temenan dari sejak dia pindah kok.” Jelas Kristin.
Dua tahun kemudian, saat upacara kelulusan. Mereka bergembira ria. Bagaimana tidak? Keduanya menjadi lima besar lulusan terbaik di sekolah. Angkanya pun sangat cantik. Kristin urutan keempat, sedangkan Aldo menjadi urutan kelima. Mereka berdua yang sudah populer kedekatannya sejak kelas 1, kini makin populer dengan prestasi yang diraih mereka.
“Do, ngomong-ngomong, habis lulus ini kamu mau nglanjutin ke SMA mana?” tanya Kristin penasaran.
“Hah? Oh... aku sih mau disini aja, semenjak pndah kesini aku jadi betah sama hawa-hawa kota ini. Ga mau pisah rasanya, hehehehehe” jelas Aldo.
“Tapi, Do...”
“Selain itu juga ada kamu Tin.” Ucap Aldo malu-malu. Keadaan ini makin mempersulit Kristin untuk menjelaskan pada Aldo, bahwa dirinya tidak meneruskan sekolah di Bogor.
“Tapi maafin aku ya Do...” kata Kristin.
“Kenapa?” tanya Aldo penasaran.
“Bukan aku ga mau di Bogor lagi, tapi udah ada SMA di Jakarta yang ngasih aku beasiswa untuk bersekolah disana. Sebenernya aku pengin kasih tau kamu sejak sebelum upacara kelulusan. Tapi aku takut bikin kamu kecewa” jelas Kristin dengan rasa bersalah.
Terpapar sebuah kesedihan di wajah Aldo, wajahnya melesu seketika. Namun Aldo berusaha menutupinya.
“Do? Kamu gapapa?” tanya Kristin khawatir.
“Engga papa Tin. Justru aku seneng kok liat kamu berprestasi gitu, apalagi di kota metropolitan. Aku dukung kamu deh Tin” jawab Aldo dengan tersenyum. Meski Kristin dapat melihat bahwa senyum Aldo berlatar belakang kekecewaan.
“Makasih ya, Do” kata Kristin sambil memeluk badan besar Aldo. Pelukan hangat yang mungkin terakhir kali. Mungkin.
......................................................
Di Jakarta, kedatangan Kristin disambut ramah oleh kepala sekolah SMA Harapan Bangsa. Karena prestasi Kristin yang terbilang cukup tinggi di daerahnya. Dengan Kristin melanjutkan pendidikannya di Jakarta, memboyong keluarganya di Bogor walaupun ayah Kristin tetap tinggal. Kristin masih memikirkan Aldo. Apa jadinya lingkungan rumah kami tanpa hadirnya aku, gumam Kristin dalam hati. Semoga di Bogor Aldo baik-baik saja.
Sementara di kampung halaman, Aldo merasa sangat kesepian. Keberangkatan Kristin ke Jakarta membuatnya kehilangan teman bermain. Memang benar, teman yang paling dekat sejak dia kecil hanya Kristin, tidak ada yang lain. Pikirannya menyebar kemana-mana, memperkirakan kapan Kristin kembali lagi kemari, seperti apa dia disana, apakah dia memiliki teman yang lebih akrab darinya. Pikiran yang menurutnya mustahil, justru membuat dirinya sangat terpuruk. Impiannya untuk terus bersama Kristin terputus. Aldo beringsut dari sandarannya, merebahkan diri diatas kasur. Ia memandangi stiker tempel glow in the dark yang ia tempelkan susah payah bersama Kristin dulu. Mengantarkannya tidur dalam suasana yang muram, seraya berdoa agar Kristin tidak benar-benar melupakannya.
...............................................
Kecakapan Kristin dalam bergaul memudahkan Ia cepat mendapatkan teman baru disana. Teman pun bukan sembarang teman. Semua yang berteman dengan Kristin pasti anak yang baik-baik dan tidak suka bersenda gurau yang berlebihan. Ini semua berkat basic Kristin yang biasa berteman. Namun ia juga tidak pernah meninggalkan teman yang lainnya. Walau yang lain pergaulannya sedikit miring, Kristin tetap dapat mengakalinya, sehingga Ia dapat memiliki banyak teman.
Satu tahun kemudian saat Kristin menduduki kelas XI SMA, teman Kristin yang bernama April menanyakan sesuatu padanya.
“Tin, lo masih single sampe sekarang?” tanya April.
“Kalo iya kenapa? Apaan si lo, Pril pake nanya gituan segala. Kepo deh” ucap Kristin.
“Yee... bukannya gitu Tin. Gue penasaran aja, kok lo bisa tahan dengan keadaan lo single kaya gini. Cari pacar ngapa Tin?” jelas Kristin.
Pertanyaan April mengingatkannya akan Aldo. Sudah setahun ini ia meninggalkannya. Memberi kabarpun tidak. Kristin juga tidak mengetahui kabar Aldo. Padahal ayahnya yang masih tinggal di Bogor harusnya memberi tahu keadaan sekitar kampung halamannya, termasuk Aldo.
“Bodo ah...nglantur aja omongan lo” ucap Kristin sambil berlari meninggalkan April. “Ehh Tinn!! Tungguin gue!”.
......................................................................
Apa yang dikatakan April membuatnya terbujuk untuk mengunjungi Bogor. Kebetulan sudah liburan semester satu, tidak ada halangannya untuk pergi keluar kota.
Kereta api yang melaju kencang kini telah sampai di Stasiun Bogor. Ia datang sendiri. Bogor masih sama, belum ada yang berubah, gumam Kristin. Bahagia rasanya kembali menginjak Bogor, rasanya kembali muda seperti anak SMP lagi, pikir Kristin. Berbekal ingatan yang masih luas tentang Bogor, ia segera menuju rumahnya menggunakan angkutan kota.
Dari ujung pintu perumahannya ia berjalan. Nampaknya ada sedikit renovasi pada perumahan ini, pikir Kristin. Kini ia sudah berada di depan rumahnya. Sudah sedikit gersang dengan daun kering berserakan, sama dengan rumah di sebelahhya. Rumah Aldo. Ia melemparkan tas backpack-nya ke teras rumah den segera ke rumah Aldo. Nampak gersang seperti yang telah dikatakan. Sepertinya semua begini sejak aku pindah, pikir Kristin. Diketuknya pintu putih bernomor 17 itu tiga kali. Tidak lama kemudian muncul seseorang yang tidak asing. Ibunda Aldo!
“Lho? Nak Kristin?! Ya Tuhan apa kabar kamu?” sambut ibu Aldo dengan ramah.
“Baik kok tante. Ngomong-ngomong Aldonya dimana tante? Kangen deh saya pengin main lagi sama dia” ucap Kristin.
Ditanyai seperti itu membuat raut wajah kebingungan terlukis di wajah Ibu Aldo. Seperti hendak mengatakan sesuatu tapi enggan mengatakannya. “Ah, kok jadi bicara diluar seperti ini, ayo masuk dulu, nak” tawar Ibu Aldo dengan cepat.
Harum rumah ini tidak berubah. Masih sama. Kristin segera naik ke atas. Ke kamar Aldo seperti biasanya. Kamar Aldo kosong, namun masih rapi. Kristin rindu dengan kamar ini. Rindu segala-galanya, mainan mereka yang masih disusun dengan susunan yang tidak pernah berubah, parfum Aldo yang soft, bahkan bau badan Aldo pun masih bisa dirasakan Kristin. Ah, mungkin Aldo lagi pergi, pikir Kristin. Sedang asyik melihat-lihat, Kristin menemukan tape recorder yang biasa mereka mainkan saat masih kelas satu SMP. “Wah, masih disimpen juga benda beginian, kirain malah udah ilang”, gumam Kristin. Ia membuka tape recorder tersebut, kaset yang ada didalamnya ia keluarkan. Diatasnya tertera tulisan Aldo yang masih agak berantakan itu. “ALDO_KRISTIN” bunyi tulisannya. Kristin jadi ingat saat  mereka berdua memainkan tape recorder itu sampai jatuh terpelanting ke lantai. Mungkin sudah tidak bias digunakan lagi, pikirnya.
Sedang mencoba menekan tombol play tiba-tiba ibu Aldo muncul di depan pintu kamar. Kehadirannya membuat Kristin sedikit terkejut.
“Eh, nak Kristin.Tante cari-cari ternyata ada disini.”kata Ibu Aldo.
“eh iya tante maaf, aku jadi main masuk ke kamar Aldo gini”, jelas Kristin sembari menyembunyikan tape recorder di belakang punggungnya.
“Ga papa lagi, bukannya dari dulu kamu biasa keluar masuk rumah tanpa tante tahu, hahaha.Sudah ayo ikut tante, Tin.” Ajak ibu Aldo.
“Kemana, tante?”Tanya Kristin penasaran.
“Ayo ikut aja” ajak ibu Aldo.
……………………………………………
Mobil Avanza biru melaju kencang membawa Kristin dan ibu Aldo.Pak sopir yang sedari tadi menyetir terlihat begitu tegang dan tidak mengeluarkan satu kata pun.Tidak seperti biasanya, gumam Kristin.
Mereka berhenti di sebuah Gedung rumah sakit di suatu sudut kota di Bogor. Kristin memang belum pernah kemari.Sejak kecil Kristin selalu sehat, menyentuh dokter pun jarang sekali.Tapi untuk apa mereka kemari? Apa ibu Aldo mau control atau apa, Kristin masih penuh dengan rasa penasaran. Kristin mengikuti ibu Aldo masuk ke rumah sakit tersebut. Namun semuanya jauh dari perkiraan Kristin. Cancer Center? Siapa yang kanker?  Rasa was-was dan penasaran Kristin bertambah besar.
Pintu merah tua bernomorkan K201 sudah ada di depan mereka. Kristin semakin bingung. Mau apa sih kesini? Menjenguk? Tapi siapa?, dalamhati Kristin bertanya-tanya. Dilihatnya, ibu Aldo tampak sedikit tertunduk.“Ini, isinya siapa, tante?”Tanya Kristin penasaran.“Sebaiknya kamu duluan dulu deh. Silahkan” tawar Ibu Aldo.
Gagang pintu mulai ditariknya. Belum sampai masuk ruangan, Kristin terdiam, terpaku akan apa yang dilihatnya sekarang. Badannya gemetar dan berusaha menahan tangis. Dirinya benar-benar terguncang. Aldo. Aldo terbaring lemah di depannya. Selang-selang infuse dan oksigen seakan menjerat badan Aldo.
Kristin berlari mendekatinya.Tapi memang air mata sulit sekali untuk dibendung, Kristin meneteskan air mata. Ia duduk disamping tubuh lemah itu. Diraihnya tangan Aldo yang sudah sedikit lebih besar dari satu tahun yang lalu.Napasnya satu-satu. Kristin benar-benar tidak menyangka akan apa yang terjadi sekarang.
. “Nnngg…. Nak Kristin, sebelumnya tante minta maaf, tante belum kasih tau kamu dari tadi. Tante takut bikin kamu kaget, kan kamu baru dateng dari jauh. Lagi pula kamu kan masih lelah.” Jelas ibu Aldo
“Aldo kenapa, tante?”Tanya Kristin sambil menyeka air matanya.
“Ayo kita bicara diluar” ajak ibu Aldo.
“Sejak nak Kristin pindah ke Jakarta, pola hidup Aldo berubah jauh dari waktu dia masih sering main sama kamu. Ia lebih sering menghabiskan waktu di kamarnya. Pulang sekolah tidak pernah tepat waktu. Selalu diatas jam 5 sore. Sikapnya berubah seperti pertama  kali pindah kesini. Tante juga ngga menyangka kalau dia mulai merokok. Padahal tante sudah melarangnya tapi dia tetap melawan larangan tante mentah-mentah. Tiga hari yang lalu,  saat sebelum berangkat sekolah, Aldo mulai mengeluh dadanya terasa sakit, dan tiba-tiba pingsan. Om dan tante kaget dan kebingungan,  akhirnya kita bawa kesini. Ternyata dia udah kena kanker paru-paru.” Jelas Ibu Aldo sambil menyeka air matanya yang terus menerus turun dari matanya yang sayu.
Kristin yang mendengarkannya benar-benar merasa bersalah. Jadi, Aldo menjadi seperti ini karena dirinya pindah ke Jakarta. Kristin jadi ingat saat mereka bicara berdua setelah upacara kelulusan SMP dulu. Raut wajah Aldo  sedikit kecewa saat ia mengatakan harus bersekolah di Jakarta. Dan semua berdampak seperti ini. Kristin benar-benar tidak mengerti apa yang harus dilakukannya sekarang. Sungguh dirinya ingin Aldo cepat siuman dan melihat dirinya. Ia ingin meminta maaf atas apa yang telah dilakukannya sehingga membuat Aldo seperti ini.
Bukan mau tak mau, tapi Kristin harus menghabiskan liburannya di Bogor. Wajib baginya menemani Aldo, karena menurutnya ialah yang telah membuat Aldo seperti ini. Hampir setiap hari dihabiskannya disamping Aldo, ia takmau kalau Aldo sadar nanti, ia tidak melihatnya.
Suatu hari, entah hari ke berapa Kristin menunggui Aldo. Momen yang ditunggunya akhirnya datang, saat Kristin tertidur disamping Aldo, sebuah suara lirih dan berat memanggilnya.
“K..k…Kristin….”suara tersebut tidak jauh dari telinga Kristin. Suara itu membuat Kristin terbangun. Tapi, siapa sangka kalau Kristin terbangun dengan kejutan yang ia tunggu.
Itu suara Aldo! Ya, Kristin bisa mencerna suara tersebut. Kristin langsung terbangun dari tidurnya dan melihat Aldo yang sudah membuka matanya. Nampak berkaca-kaca. “Aldo!!!” teriaknya terkejut, tapi terkejut karena bahagia. Tanpa perintah, Kristin langsung meraih tubuh Aldo, memeluknya. “ Ini beneran Kristin?” Tanya Aldo memastikan.
“Iya, ini aku, Do. Seneng bisa liatkamu udah bangun” ucap Kristin.
“i..iya, aku juga seneng liat kamu udah disini”
……………………………………………………
Kedatangan Kristin cukup membuat banyak perubahan. Keadaan Aldo makin membaik. Memang tidak sia-sia Kristin kembali ke Bogor. Selama masa penyembuhan, Kristin selalu menemani Aldo kemanapun dia pergi. Mereka kembali seperti dulu.
“Tin, kamu mau janji sesuatu ga ke aku?” Tanya Aldo.
“Mmm… boleh aja.Emang apaan?”Tanya Kristin penasaran.
“Gampang kok.Kamu tinggal temenin aku aja. Sampe besok, ya?”jelasnya.
“Ooh… Cuma itu. Ngapain pake janji segala, ga perlu kamu minta juga aku udah disini, kan?”kata Kristin.
“ Iya, percaya deh”
Dua hari setelahnya, saat Kristin sedang bersiap ke rumah sakit untuk menjenguk Aldo. Ponselnya berdering, Aldo meneleponnya. Aldo meminta untuk segera ke sana, jadi dengan segera Kristin berangkat.
Sesampainya di sana, Kristin langsung masuk ke kamar rawat Aldo. Ia mendapatinya sedang berkutat dengan Blackberry Bold lamanya.
“Hai, Do!” sapa Kristin
“Hai! Lama banget sih, udah aku tungguin tau” balas Aldo.
“Emang ada apa kamu minta aku cepet-cepet dateng? Ada yang penting?” tanya Kristin penasaran.
“Ada, eh engga sih... aku kangen kamu aja” jawabnya sambil bercanda.
“Idiiihhh dasar, aku kirain apa. Ya ga papa sih lagian juga aku males dirumah terus... heheheheh” kata Kristin.
Sebenarnya, alasan Aldo meminta Kristin untuk datang lebih cepat, karena Aldo ingin mengutarakan sesuatu pada Kristin. Rasa yang telah Ia pendam semenjak SMP dulu. Karena selalu pergi bersama, Kristin adalah belahan jiwa baginya. Lama hening akhirnya Aldo membuka kembali pembicaraan.
“Tin, aku boleh bilang sesuatu ga?” tanya Aldo.
“Apaan?”
“Kamu mau ya temenin aku lebih lama lagi.”pinta Aldo.
“Nnnngg.... maksudnya apa ya? Sekarang kan aku udah nemenin kamu selama aku liburan.” Jelas Kristin, tapi dirinya masih belum bisa mencerna apa yang dikatakan Aldo.
“Kamu ngga inget pernah ninggalin aku?”tambah Aldo.
“Eh, iya. Maafin aku soal itu. Sebenernya,aku juga ga berniat untuk sekolah di Jakarta. Tapi sekolah sana yang ngundang aku. Sayang kan kalo ga diambil, SMP kita bakal kena blacklist kalo aku ga ngambil undangan itu dulu.”jelas Kristin.
“Tapi kan...”
“Udah, Do. Masalah buruk ga perlu diungkit lagi. Sekarang kan aku udah di sini. Udah balik nemenin kamu, ok?”sela Kristin.
“Hmm... makasih ya, Tin” ucap Aldo.
“Aku sayang sama kamu”.
“Aku juga, Do”balas Kristin sambil mengeluarkan sesuatu dari tas selempangnya. “Do kamu masih inget ini gak?” tanya Kristin sambil menunjukkan tape recorder yag dibawanya dari rumah Aldo. “Lho? Kok di kamu? Kamu habis dari rumah aku apa?” tanya Aldo bingung.”Hahaha iya, waktu kapan ya, pas aku baru dateng dari Jakarta. Aku ga langsung ke rumah. Tapi ke rumahmu dulu. Niatnya mau nyariin kamu, sampe masuk-masuk ke kamarmu. Eh nemuin artefak ini nggletak aja di meja belajarmu.”jelas Kristin.
“Yeee dasar tukang kutil. Ngomong dulu kali kalo mau ngambil” canda Aldo.
“Orang aku aja gatau kamu ada disini, hahaha” balas Kristin.
Mereka asyik sekali bersenda gurau. Seperti layaknya pertemuan akan dua sahabat karib yang terpisah lama. Mungkin bukan sahabat karib lagi, karena diantara mereka berdua, hadir suatu rasa yang lebih kuat menyatukan mereka.
“Nggg....aku ngantuk nih, Tin. Berat banget rasanya nih mata” ucap Aldo.
“Yaudah tinggal tidur aja, aku disini kok.”jawab Kristin.
“Eh, pegangin dong. Titip.”kata Aldo sambil menyodorkan kalung rosario yang dipakainya sejak kemarin. “Kamu boleh pake”
“Iya, sini.-mengambil kalung Aldo- oh iya aku mau dengerin rekaman-rekaman aneh kita yang dulu, kamu mau dengerin?” tawar Kristin.
“Boleh, lumayan lah, pengantar tidur.”jawab Aldo sambil tersenyum.
Ditekannya tombol play oleh Kristin.
Hai haaaiiiii....Aldo disini, di tape recorder baru yang aku beli, nnngggg....bingung mau rekam apaan, heheheh. Tin ngomong nih.
Eh apaan sih...eh eh iya . errr... aku Kristin. Salam kenal.
Jiaahh, salam kenal. Kayak kaset ini mau di masukin tipi aja.
Ya bodo amat, orang aku gatau mesti bilang apa
Hahahaha dasar tengil
Kamu tuh genit
.........................
Laaahh ngapain sih Do. Orang aku baru dateng juga, mau main ngeloyor aja.
Aku mau ke warung sebelah. Beli kelereng.
Umur woy umur...
Yang penting ga malu maluin orang hahaha
Yeeee dasar..............lho? eh ini masih nyala ya? Dasar Aldo...pikun.
...............................
Yyyyyyyeeeeeeeeeeiii  kita lulus wooohoooo!! Makasih Tuhan... ga sia-sia kita belajar kayak burung hantu.
Mataku panda nih Do. Padahal udah jauh dari UN masih gini.
Makanya jangan kepinteran.
Sembarangan kamu ah
Yeee becanda kali Tin, eh kita SMA bareng lagi ga ya?
Tau..aku sih penginnya masih di Bogor aja. Siapa tau kalo bareng lagi sama kamu kan bisa ada yang nemenin belajar.
Udah pinter kali kamu tuh, ngapain belajar.
Huuuh dasar
Pokoknya aku mau bareng lagi sama Kristin. Sampe tua juga ga papa.
Emangnya aku babysittermu apa... tapi boleh sih ahahha
Kan, mana ada yang ga mau sama cowok ganteng kayak aku
Gombal, hahaha
........................................
Seiring dengan kaset yang sudah tidak mengeluarkan suara lagi. Aldo pun ikut tertidur. Kristin menghela napas panjang, dimasukkannya kembali tape recorder ke dalam tas. Kembali ia menatap Aldo yang sudah tertidur. Tidurnya beda sekali, tenang, damai. Wajahnya kelihatan lebih bercahaya. Kristin meraih tangan Aldo, dingin. Kristin mulai khawatir, ia memeriksa keadaan, dada Aldo tidak kembang kempis, tidak ada lagi napas hangat keluar dari lubang hidungnya. Kristin jatuh berlutut disamping badan yang terbujur kaku seperti kristal yang abadi.
Siapa yang menyangka kalau malaikat sudah mengantar Aldo ke atas sana. Di umur 17 tahun, yang masih memiliki segudang cita-cita dan keinginan. Padahal ia baru saja meminta Kristin untuk menemaninya hingga hari ini. Namun sayang, Aldo sudah tidak bisa mendapati Kristin menemaninya lebih lama. Begitu juga Kristin. Sekarang Aldo sudah tertidur, entah kapan dan siapa yang akan membangunkannya.
Gerimis menyirami tanah merah dan nisan yang berdiri tegak, seakan bumi ikut menyesali kepergian Aldo. Namun, siapa yang bisa dan berani melawan takdir?
Foto Aldo dan tape recorder ada di tangan Kristin. Gerbong yang berjalan bak angin membawanya pergi kembali ke Jakarta. Kristin masih bisa bersyukur, dapat dipertemukan dengan Aldo sampai akhir waktunya. Kenangan mereka telah kembali dinyalakan, sampai sirna.