Sampai Sirna (till the ends)
Oleh: M. Reza Aldian x7/24
Siapa yang menyangka kalau pagi ini
adalah pagi yang terasa baru bagi Kristin. Rumah sebelah yang semula kosong
sekarang sudah ada yang menempati. Rasa penasaran mendorong tubuh kecil Kristin
untuk melihat siapa tetangga barunya itu.
Melalui tembok pembatas yang sedang,
Kristin melihat tetangga baru itu sedang membenahi rumah. Memang hal yang biasa
Kristin lihat, karena hampir seminggu sekali ada warga baru yang pindah ke
rumahnya. Asyik melihat perabotan rumah yang masih berantakan di halaman rumah,
ada sesuatu yang lebih memikat matanya. Seorang lelaki kecil tengah berdiri di
depan pagar rumah. Ia memegang sebuah mobil mainan di tangan kanannya,
memandangi kotak surat yang bentuknya unik.
Tanpa perintah Kristin berlari ke
arahnya. “Hai! Aku Kristin, kamu siapa?”, ucapnya penuh percaya diri sambil memberikan
tangannya. Mengetahui itu Aldo menundukkan kepalanya dengan malu. “Nggak papa,
Kristin”, ulang Kristin.
“A...Aku Aldo”, katanya dengan suara
malu-malu. Dengan polosnya Kristin mengajak Aldo untuk main ke rumahnya.
Sesampainya dirumah, Kristin langsung
mengenalkan tetangga barunya itu kepada orang tuanya. Kristin dan keluarganya
selalu menerima warga baru dengan baik. Tak heran kalau keluarga Kristin sangat
dikenal dengan keramahannya. Dengan segera, keluarga Kristin akrab dengan
keluarga Aldo.
Aldo dan Kristin berteman dengan baik.
Aldo sekarang bersekolah dimana Kristin juga disana. Sebagai warga baru
sekaligus murid baru di sekolah, Aldo semakin kesulitan bergaul. Namun begitu
Kristin dengan senang hati membantu Aldo beradaptasi dengan lingkungan
sekolahnya. Begitu seterusnya hingga kelas 4 SD. Memang agak terkesan aneh,
kemana-mana mereka selalu berdua. Dimana ada Kristin, tidak jauh darinya pasti
ada Aldo. Bahkan keduanya sempat menjadi bahan olok-olokan teman sekolah. Namun
mereka tidak pernah memedulikannya, hingga akhirnya Aldo sudah bisa mengenal
siapapun baik di sekolah maupun lingkungan rumah.
“Thanks ya Tin, ga kebayang kalo aku ga
pindah di sebelah rumahmu. Bisa-bisa aku anak kuper, ha ha ha ha”. katanya pada
Kristin.
“Ah gapapa. Toh kita kan teman”, kata
Kristin tersenyum pada Aldo.
Setiap hari Kristin bermain di rumah
Aldo. Hari-hari dihabiskannya di kamar Aldo.
Jangan berpikir negatif, mereka hanya bermain mainan yang ada. Hampir
tiap waktu ada beberapa mainan baru. Semuanya adalah milik mereka berdua,
sebagian mainan Kristin ada di kamar Aldo.
Persahabatan mereka berlanjut hingga
SMP. Mereka kembali masuk di sekolah yang sama. Kedekatannya pun semakin intim
saja. Kristin sudah menganggap Aldo sebagai saudara sendiri. Berangkat dan
pulang sekolah selalu bersama. Prestasi mereka pun selalu berimbang di sekolah,
kalau tidak menduduki peringkat tiga besar, paling tidak mereka ada di lima
besar.
Pernah suatu ketika teman Kristin
menanyakan soal kedekatannya dengan Aldo.
“ Tin, sebenernya tuh gue bingung sama
lo berdua”, tanya temannya dengan nada mengintimidasi. Namanya June.
“ Dih apaan si? Gue sama siapa
emang?”jawab Kristin dengan santainya.
“Ya lo sama Aldo lah. Siapa lagi sih
yang setiap hari sering pergi bareng sama lo? Udah jadi rahasia umum kali
kedeketan lo sama dia.” Terang June.
“Hah? Gitu doang lo pertanyakan sampe
sekarang? Aduh June kudet banget sih lo, gue sama Aldo tuh Cuma tetanggaaan
doang. Soal kita deket sampe sekarang mah orang kita udah temenan dari sejak
dia pindah kok.” Jelas Kristin.
Dua tahun kemudian, saat upacara
kelulusan. Mereka bergembira ria. Bagaimana tidak? Keduanya menjadi lima besar
lulusan terbaik di sekolah. Angkanya pun sangat cantik. Kristin urutan keempat,
sedangkan Aldo menjadi urutan kelima. Mereka berdua yang sudah populer
kedekatannya sejak kelas 1, kini makin populer dengan prestasi yang diraih
mereka.
“Do, ngomong-ngomong, habis lulus ini
kamu mau nglanjutin ke SMA mana?” tanya Kristin penasaran.
“Hah? Oh... aku sih mau disini aja,
semenjak pndah kesini aku jadi betah sama hawa-hawa kota ini. Ga mau pisah
rasanya, hehehehehe” jelas Aldo.
“Tapi, Do...”
“Selain itu juga ada kamu Tin.” Ucap
Aldo malu-malu. Keadaan ini makin mempersulit Kristin untuk menjelaskan pada Aldo,
bahwa dirinya tidak meneruskan sekolah di Bogor.
“Tapi maafin aku ya Do...” kata Kristin.
“Kenapa?” tanya Aldo penasaran.
“Bukan aku ga mau di Bogor lagi, tapi
udah ada SMA di Jakarta yang ngasih aku beasiswa untuk bersekolah disana.
Sebenernya aku pengin kasih tau kamu sejak sebelum upacara kelulusan. Tapi aku
takut bikin kamu kecewa” jelas Kristin dengan rasa bersalah.
Terpapar sebuah kesedihan di wajah Aldo,
wajahnya melesu seketika. Namun Aldo berusaha menutupinya.
“Do? Kamu gapapa?” tanya Kristin
khawatir.
“Engga papa Tin. Justru aku seneng kok
liat kamu berprestasi gitu, apalagi di kota metropolitan. Aku dukung kamu deh
Tin” jawab Aldo dengan tersenyum. Meski Kristin dapat melihat bahwa senyum Aldo
berlatar belakang kekecewaan.
“Makasih ya, Do” kata Kristin sambil
memeluk badan besar Aldo. Pelukan hangat yang mungkin terakhir kali. Mungkin.
......................................................
Di Jakarta, kedatangan Kristin disambut
ramah oleh kepala sekolah SMA Harapan Bangsa. Karena prestasi Kristin yang
terbilang cukup tinggi di daerahnya. Dengan Kristin melanjutkan pendidikannya
di Jakarta, memboyong keluarganya di Bogor walaupun ayah Kristin tetap tinggal.
Kristin masih memikirkan Aldo. Apa jadinya lingkungan rumah kami tanpa hadirnya
aku, gumam Kristin dalam hati. Semoga di Bogor Aldo baik-baik saja.
Sementara di kampung halaman, Aldo
merasa sangat kesepian. Keberangkatan Kristin ke Jakarta membuatnya kehilangan
teman bermain. Memang benar, teman yang paling dekat sejak dia kecil hanya
Kristin, tidak ada yang lain. Pikirannya menyebar kemana-mana, memperkirakan
kapan Kristin kembali lagi kemari, seperti apa dia disana, apakah dia memiliki
teman yang lebih akrab darinya. Pikiran yang menurutnya mustahil, justru
membuat dirinya sangat terpuruk. Impiannya untuk terus bersama Kristin
terputus. Aldo beringsut dari sandarannya, merebahkan diri diatas kasur. Ia
memandangi stiker tempel glow in the dark
yang ia tempelkan susah payah bersama Kristin dulu. Mengantarkannya tidur dalam
suasana yang muram, seraya berdoa agar Kristin tidak benar-benar melupakannya.
...............................................
Kecakapan Kristin dalam bergaul
memudahkan Ia cepat mendapatkan teman baru disana. Teman pun bukan sembarang
teman. Semua yang berteman dengan Kristin pasti anak yang baik-baik dan tidak
suka bersenda gurau yang berlebihan. Ini semua berkat basic Kristin yang biasa berteman. Namun ia juga tidak pernah
meninggalkan teman yang lainnya. Walau yang lain pergaulannya sedikit miring,
Kristin tetap dapat mengakalinya, sehingga Ia dapat memiliki banyak teman.
Satu tahun kemudian saat Kristin
menduduki kelas XI SMA, teman Kristin yang bernama April menanyakan sesuatu
padanya.
“Tin, lo masih single sampe sekarang?” tanya April.
“Kalo iya kenapa? Apaan si lo, Pril pake
nanya gituan segala. Kepo deh” ucap Kristin.
“Yee... bukannya gitu Tin. Gue penasaran
aja, kok lo bisa tahan dengan keadaan lo single
kaya gini. Cari pacar ngapa Tin?” jelas Kristin.
Pertanyaan April mengingatkannya akan
Aldo. Sudah setahun ini ia meninggalkannya. Memberi kabarpun tidak. Kristin
juga tidak mengetahui kabar Aldo. Padahal ayahnya yang masih tinggal di Bogor
harusnya memberi tahu keadaan sekitar kampung halamannya, termasuk Aldo.
“Bodo ah...nglantur aja omongan lo” ucap
Kristin sambil berlari meninggalkan April. “Ehh Tinn!! Tungguin gue!”.
......................................................................
Apa yang dikatakan April membuatnya
terbujuk untuk mengunjungi Bogor. Kebetulan sudah liburan semester satu, tidak
ada halangannya untuk pergi keluar kota.
Kereta api yang melaju kencang kini
telah sampai di Stasiun Bogor. Ia datang sendiri. Bogor masih sama, belum ada
yang berubah, gumam Kristin. Bahagia rasanya kembali menginjak Bogor, rasanya
kembali muda seperti anak SMP lagi, pikir Kristin. Berbekal ingatan yang masih
luas tentang Bogor, ia segera menuju rumahnya menggunakan angkutan kota.
Dari ujung pintu perumahannya ia
berjalan. Nampaknya ada sedikit renovasi pada perumahan ini, pikir Kristin.
Kini ia sudah berada di depan rumahnya. Sudah sedikit gersang dengan daun
kering berserakan, sama dengan rumah di sebelahhya. Rumah Aldo. Ia melemparkan
tas backpack-nya ke teras rumah den
segera ke rumah Aldo. Nampak gersang seperti yang telah dikatakan. Sepertinya
semua begini sejak aku pindah, pikir Kristin. Diketuknya pintu putih bernomor
17 itu tiga kali. Tidak lama kemudian muncul seseorang yang tidak asing. Ibunda
Aldo!
“Lho? Nak Kristin?! Ya Tuhan apa kabar
kamu?” sambut ibu Aldo dengan ramah.
“Baik kok tante. Ngomong-ngomong Aldonya
dimana tante? Kangen deh saya pengin main lagi sama dia” ucap Kristin.
Ditanyai seperti itu membuat raut wajah
kebingungan terlukis di wajah Ibu Aldo. Seperti hendak mengatakan sesuatu tapi
enggan mengatakannya. “Ah, kok jadi bicara diluar seperti ini, ayo masuk dulu,
nak” tawar Ibu Aldo dengan cepat.
Harum rumah ini tidak berubah. Masih
sama. Kristin segera naik ke atas. Ke kamar Aldo seperti biasanya. Kamar Aldo
kosong, namun masih rapi. Kristin rindu dengan kamar ini. Rindu segala-galanya,
mainan mereka yang masih disusun dengan susunan yang tidak pernah berubah,
parfum Aldo yang soft, bahkan bau
badan Aldo pun masih bisa dirasakan Kristin. Ah, mungkin Aldo lagi pergi, pikir
Kristin. Sedang asyik melihat-lihat, Kristin menemukan tape recorder yang biasa mereka mainkan saat masih kelas satu SMP.
“Wah, masih disimpen juga benda beginian, kirain malah udah ilang”, gumam
Kristin. Ia membuka tape recorder
tersebut, kaset yang ada didalamnya ia keluarkan. Diatasnya tertera tulisan
Aldo yang masih agak berantakan itu. “ALDO_KRISTIN” bunyi tulisannya. Kristin jadi ingat saat
mereka
berdua
memainkan
tape
recorder
itu
sampai
jatuh
terpelanting
ke
lantai.
Mungkin
sudah
tidak
bias
digunakan
lagi, pikirnya.
Sedang
mencoba
menekan
tombol
play
tiba-tiba
ibu Aldo muncul di depan
pintu
kamar. Kehadirannya
membuat Kristin sedikit
terkejut.
“Eh, nak
Kristin.Tante cari-cari ternyata ada disini.”kata Ibu Aldo.
“eh
iya
tante
maaf, aku
jadi main masuk
ke
kamar Aldo gini”, jelas
Kristin sembari menyembunyikan
tape recorder
di belakang punggungnya.
“Ga papa
lagi, bukannya dari dulu kamu biasa keluar masuk rumah tanpa tante tahu, hahaha.Sudah
ayo
ikut
tante, Tin.” Ajak
ibu Aldo.
“Kemana,
tante?”Tanya Kristin penasaran.
“Ayo ikut
aja” ajak
ibu Aldo.
……………………………………………
Mobil
Avanza biru melaju kencang membawa Kristin dan
ibu Aldo.Pak sopir yang
sedari tadi menyetir terlihat begitu tegang dan tidak mengeluarkan satu kata pun.Tidak seperti biasanya, gumam Kristin.
Mereka
berhenti di sebuah
Gedung
rumah
sakit di suatu
sudut
kota di Bogor. Kristin
memang belum pernah kemari.Sejak kecil Kristin selalu
sehat, menyentuh
dokter pun jarang
sekali.Tapi
untuk
apa
mereka
kemari? Apa
ibu Aldo mau
control atau
apa, Kristin masih
penuh
dengan rasa penasaran.
Kristin mengikuti ibu Aldo masuk
ke
rumah
sakit
tersebut.
Namun
semuanya
jauh
dari
perkiraan Kristin.
Cancer Center?
Siapa yang kanker?
Rasa was-was dan
penasaran Kristin bertambah
besar.
Pintu
merah
tua
bernomorkan K201 sudah
ada di depan
mereka. Kristin semakin
bingung. Mau apa
sih
kesini? Menjenguk?
Tapi
siapa?,
dalamhati Kristin
bertanya-tanya. Dilihatnya, ibu Aldo tampak
sedikit
tertunduk.“Ini, isinya
siapa, tante?”Tanya Kristin
penasaran.“Sebaiknya kamu duluan dulu deh. Silahkan” tawar
Ibu Aldo.
Gagang
pintu
mulai
ditariknya.
Belum
sampai
masuk
ruangan, Kristin terdiam,
terpaku akan apa yang dilihatnya
sekarang. Badannya
gemetar
dan
berusaha
menahan
tangis.
Dirinya
benar-benar
terguncang.
Aldo.
Aldo terbaring
lemah di depannya.
Selang-selang
infuse
dan
oksigen
seakan
menjerat
badan Aldo.
Kristin
berlari mendekatinya.Tapi
memang air mata
sulit
sekali
untuk
dibendung, Kristin
meneteskan air mata. Ia duduk disamping tubuh lemah itu. Diraihnya
tangan Aldo yang sudah
sedikit
lebih
besar
dari
satu
tahun yang lalu.Napasnya
satu-satu. Kristin
benar-benar tidak menyangka akan apa yang terjadi
sekarang.
. “Nnngg….
Nak Kristin, sebelumnya tante minta maaf, tante belum kasih tau kamu
dari
tadi. Tante
takut
bikin
kamu
kaget, kan
kamu
baru
dateng dari jauh. Lagi pula kamu
kan
masih
lelah.”
Jelas
ibu Aldo
“Aldo
kenapa, tante?”Tanya Kristin sambil menyeka air matanya.
“Ayo kita
bicara
diluar” ajak
ibu Aldo.
“Sejak
nak Kristin pindah
ke Jakarta, pola
hidup Aldo berubah
jauh
dari
waktu
dia
masih
sering main sama
kamu.
Ia
lebih
sering
menghabiskan
waktu di kamarnya. Pulang
sekolah
tidak
pernah
tepat
waktu.
Selalu
diatas jam 5 sore. Sikapnya
berubah
seperti
pertama
kali pindah
kesini.
Tante
juga
ngga
menyangka
kalau
dia
mulai
merokok.
Padahal
tante
sudah
melarangnya
tapi
dia
tetap
melawan
larangan
tante
mentah-mentah.
Tiga
hari yang lalu,
saat sebelum berangkat sekolah, Aldo mulai
mengeluh
dadanya
terasa
sakit, dan
tiba-tiba
pingsan.
Om dan
tante
kaget
dan
kebingungan,
akhirnya
kita
bawa
kesini.
Ternyata
dia
udah
kena
kanker
paru-paru.”
Jelas
Ibu Aldo sambil
menyeka air matanya yang
terus menerus turun dari matanya yang sayu.
Kristin
yang mendengarkannya benar-benar merasa bersalah. Jadi, Aldo menjadi
seperti
ini
karena
dirinya
pindah
ke Jakarta.
Kristin jadi
ingat
saat
mereka
bicara
berdua
setelah
upacara
kelulusan SMP dulu.
Raut
wajah Aldo
sedikit
kecewa
saat
ia
mengatakan
harus
bersekolah di Jakarta. Dan
semua berdampak seperti ini. Kristin benar-benar
tidak
mengerti
apa yang harus
dilakukannya
sekarang. Sungguh
dirinya
ingin Aldo cepat
siuman
dan
melihat
dirinya.
Ia
ingin
meminta
maaf
atas
apa yang telah
dilakukannya
sehingga
membuat Aldo seperti
ini.
Bukan
mau
tak
mau, tapi Kristin harus
menghabiskan
liburannya di Bogor.
Wajib
baginya
menemani Aldo, karena
menurutnya
ialah yang telah
membuat Aldo seperti
ini.
Hampir
setiap
hari
dihabiskannya
disamping Aldo, ia
takmau
kalau Aldo sadar
nanti, ia
tidak
melihatnya.
Suatu
hari, entah
hari
ke
berapa Kristin menunggui
Aldo. Momen yang ditunggunya
akhirnya
datang, saat Kristin
tertidur
disamping Aldo, sebuah
suara
lirih
dan
berat
memanggilnya.
“K..k…Kristin….”suara
tersebut
tidak
jauh
dari
telinga Kristin. Suara
itu
membuat Kristin terbangun.
Tapi, siapa
sangka
kalau Kristin
terbangun
dengan
kejutan yang ia
tunggu.
Itu
suara Aldo! Ya, Kristin bisa
mencerna
suara
tersebut.
Kristin langsung
terbangun
dari
tidurnya
dan
melihat Aldo yang sudah
membuka
matanya.
Nampak berkaca-kaca.
“Aldo!!!” teriaknya
terkejut, tapi
terkejut
karena
bahagia.
Tanpa
perintah, Kristin langsung
meraih
tubuh Aldo, memeluknya.
“ Ini
beneran Kristin?” Tanya Aldo
memastikan.
“Iya, ini
aku, Do. Seneng
bisa
liatkamu
udah
bangun” ucap Kristin.
“i..iya,
aku juga
seneng
liat
kamu
udah
disini”
……………………………………………………
Kedatangan
Kristin cukup membuat banyak perubahan. Keadaan Aldo makin
membaik.
Memang
tidak
sia-sia Kristin kembali
ke Bogor.
Selama
masa
penyembuhan, Kristin selalu
menemani Aldo kemanapun
dia
pergi.
Mereka
kembali
seperti
dulu.
“Tin, kamu
mau
janji
sesuatu
ga
ke
aku?” Tanya Aldo.
“Mmm… boleh
aja.Emang
apaan?”Tanya Kristin
penasaran.
“Gampang
kok.Kamu
tinggal
temenin
aku
aja.
Sampe
besok, ya?”jelasnya.
“Ooh… Cuma
itu.
Ngapain
pake
janji
segala, ga
perlu
kamu
minta
juga
aku
udah
disini, kan?”kata Kristin.
“ Iya,
percaya deh”
Dua
hari
setelahnya, saat Kristin
sedang bersiap ke rumah sakit untuk menjenguk Aldo.
Ponselnya berdering,
Aldo meneleponnya.
Aldo meminta
untuk
segera
ke
sana, jadi
dengan
segera Kristin berangkat.
Sesampainya
di
sana, Kristin langsung
masuk
ke
kamar
rawat Aldo.
Ia
mendapatinya
sedang
berkutat
dengan Blackberry Bold
lamanya.
“Hai, Do!” sapa Kristin
“Hai! Lama banget sih, udah aku tungguin
tau” balas Aldo.
“Emang ada apa kamu minta aku
cepet-cepet dateng? Ada yang penting?” tanya Kristin penasaran.
“Ada, eh engga sih... aku kangen kamu
aja” jawabnya sambil bercanda.
“Idiiihhh dasar, aku kirain apa. Ya ga papa
sih lagian juga aku males dirumah terus... heheheheh” kata Kristin.
Sebenarnya, alasan Aldo meminta Kristin
untuk datang lebih cepat, karena Aldo ingin mengutarakan sesuatu pada Kristin.
Rasa yang telah Ia pendam semenjak SMP dulu. Karena selalu pergi bersama,
Kristin adalah belahan jiwa baginya. Lama hening akhirnya Aldo membuka kembali
pembicaraan.
“Tin, aku boleh bilang sesuatu ga?”
tanya Aldo.
“Apaan?”
“Kamu mau ya temenin aku lebih lama
lagi.”pinta Aldo.
“Nnnngg.... maksudnya apa ya? Sekarang
kan aku udah nemenin kamu selama aku liburan.” Jelas Kristin, tapi dirinya
masih belum bisa mencerna apa yang dikatakan Aldo.
“Kamu ngga inget pernah ninggalin
aku?”tambah Aldo.
“Eh, iya. Maafin aku soal itu.
Sebenernya,aku juga ga berniat untuk sekolah di Jakarta. Tapi sekolah sana yang
ngundang aku. Sayang kan kalo ga diambil, SMP kita bakal kena blacklist kalo
aku ga ngambil undangan itu dulu.”jelas Kristin.
“Tapi kan...”
“Udah, Do. Masalah buruk ga perlu
diungkit lagi. Sekarang kan aku udah di sini. Udah balik nemenin kamu, ok?”sela
Kristin.
“Aku sayang sama kamu”.
“Aku juga, Do”balas Kristin sambil
mengeluarkan sesuatu dari tas selempangnya. “Do kamu masih inget ini gak?”
tanya Kristin sambil menunjukkan tape
recorder yag dibawanya dari rumah Aldo. “Lho? Kok di kamu? Kamu habis dari
rumah aku apa?” tanya Aldo bingung.”Hahaha iya, waktu kapan ya, pas aku baru
dateng dari Jakarta. Aku ga langsung ke rumah. Tapi ke rumahmu dulu. Niatnya
mau nyariin kamu, sampe masuk-masuk ke kamarmu. Eh nemuin artefak ini nggletak
aja di meja belajarmu.”jelas Kristin.
“Yeee dasar tukang kutil. Ngomong dulu
kali kalo mau ngambil” canda Aldo.
“Orang aku aja gatau kamu ada disini,
hahaha” balas Kristin.
Mereka asyik sekali bersenda gurau.
Seperti layaknya pertemuan akan dua sahabat karib yang terpisah lama. Mungkin
bukan sahabat karib lagi, karena diantara mereka berdua, hadir suatu rasa yang
lebih kuat menyatukan mereka.
“Nggg....aku ngantuk nih, Tin. Berat
banget rasanya nih mata” ucap Aldo.
“Yaudah tinggal tidur aja, aku disini
kok.”jawab Kristin.
“Eh, pegangin dong. Titip.”kata Aldo
sambil menyodorkan kalung rosario yang dipakainya sejak kemarin. “Kamu boleh
pake”
“Iya, sini.-mengambil kalung Aldo- oh
iya aku mau dengerin rekaman-rekaman aneh kita yang dulu, kamu mau dengerin?”
tawar Kristin.
“Boleh, lumayan lah, pengantar
tidur.”jawab Aldo sambil tersenyum.
Ditekannya tombol play oleh Kristin.
Hai haaaiiiii....Aldo disini, di tape
recorder baru yang aku beli,
nnngggg....bingung mau rekam apaan, heheheh. Tin ngomong nih.
Eh apaan sih...eh eh iya
. errr... aku Kristin. Salam kenal.
Jiaahh, salam kenal. Kayak kaset ini mau di masukin tipi aja.
Ya bodo amat, orang aku
gatau mesti bilang apa
Hahahaha dasar tengil
Kamu tuh genit
.........................
Laaahh ngapain sih Do. Orang
aku baru dateng juga, mau main ngeloyor aja.
Aku mau ke warung sebelah. Beli kelereng.
Umur woy umur...
Yang penting ga malu maluin orang hahaha
Yeeee
dasar..............lho? eh ini masih nyala ya? Dasar Aldo...pikun.
...............................
Yyyyyyyeeeeeeeeeeiii kita
lulus wooohoooo!! Makasih Tuhan... ga sia-sia kita belajar kayak burung hantu.
Mataku panda nih Do.
Padahal udah jauh dari UN masih gini.
Makanya jangan kepinteran.
Sembarangan kamu ah
Yeee becanda kali Tin, eh kita SMA bareng lagi ga ya?
Tau..aku sih penginnya
masih di Bogor aja. Siapa tau kalo bareng lagi sama kamu kan bisa ada yang
nemenin belajar.
Udah pinter kali kamu tuh, ngapain belajar.
Huuuh dasar
Pokoknya aku mau bareng lagi sama Kristin. Sampe tua juga ga papa.
Emangnya aku babysittermu apa... tapi boleh sih ahahha
Kan, mana ada yang ga mau sama cowok ganteng kayak aku
Gombal, hahaha
........................................
Seiring dengan kaset yang sudah tidak
mengeluarkan suara lagi. Aldo pun ikut tertidur. Kristin menghela napas
panjang, dimasukkannya kembali tape
recorder ke dalam tas. Kembali ia menatap Aldo yang sudah tertidur.
Tidurnya beda sekali, tenang, damai. Wajahnya kelihatan lebih bercahaya.
Kristin meraih tangan Aldo, dingin. Kristin mulai khawatir, ia memeriksa
keadaan, dada Aldo tidak kembang kempis, tidak ada lagi napas hangat keluar
dari lubang hidungnya. Kristin jatuh berlutut disamping badan yang terbujur kaku
seperti kristal yang abadi.
Siapa yang menyangka kalau malaikat
sudah mengantar Aldo ke atas sana. Di umur 17 tahun, yang masih memiliki
segudang cita-cita dan keinginan. Padahal ia baru saja meminta Kristin untuk
menemaninya hingga hari ini. Namun sayang, Aldo sudah tidak bisa mendapati
Kristin menemaninya lebih lama. Begitu juga Kristin. Sekarang Aldo sudah
tertidur, entah kapan dan siapa yang akan membangunkannya.
Gerimis menyirami tanah merah dan nisan
yang berdiri tegak, seakan bumi ikut menyesali kepergian Aldo. Namun, siapa
yang bisa dan berani melawan takdir?
Foto Aldo dan tape recorder ada di tangan Kristin. Gerbong yang berjalan bak
angin membawanya pergi kembali ke Jakarta. Kristin masih bisa bersyukur, dapat
dipertemukan dengan Aldo sampai akhir waktunya. Kenangan mereka telah kembali
dinyalakan, sampai sirna.
No comments:
Post a Comment