Tuesday, September 10, 2013

the Real duplicate


The Real Duplicate
By: Muhammad Reza Aldian

Rentetan gerbong yang begitu panjang menghantarkannya pada perhentian terakhir. Kristin sudah kembali ke Jakarta. Namun kabut kemuraman masih saja menyelimuti Kristin. Kehilangan seseorang yang kita sayangi, bukanlah hal yang mudah untuk dilewati. Itulah yang dirasakannya.
Tiap napas, langkah, dan tatapannya seakan tanpa warna. Semakin dipaksa semakin berat. Kristin memutuskan untuk tidak langsung pulang ke rumah.
Kini ia terduduk di sebuah kafe kecil yang sejuk, tetapi terlalu dingin untuk Kristin. Tas ransel tersandar di kursi kanannya. Minuman yang dia pesan dibiarkan mendingin. Kristin hanya memandangi tape recorder kecil milik Aldo, dan secarik foto masa lalu mereka.
Tali pertemanan yang amat erat membangun rasa kasih yang sangat besar. Begitulah yang mereka alami. Rasa itupun tidak pernah hilang hingga napas terakhir sahabat kecilnya. Tak terasa air mata meleleh membasahi pipinya. Kristin begitu menyesali perbuatannya.  Kenapa aku harus sekolah disini? Kenapa aku ninggalin Aldo? Ah, bodohnya aku, teriaknya dalam hati.
Senin pagi seharusnya menjadi hari yang cerah dan membuat masyarakat besemangat, justru tidak untuk Kristin. Langkahnya gontai menuju ke kelasnya. Kabar kematian Aldo hanya sampai ke telinga April, June, dan Ratna, sahabat-sahabat dekat Kristin. Mereka bertiga menyambut Kristin dengan hangat.
Hari seakan jauh lebih cepat bagi Kristin. Baru saja masuk sekolah, sekarang ia sudah duduk di kantin bersama ketiga temannya.
“Tin, elo jangan murung terus dong. Kita-kita kan jadi bingung mesti ngapain.” Ujar Ratna.
“Udah, gue gapapa, kok” balas Kristin lesu.
“Iya tapi sekarang lo mesti ikhlasin Aldo, Tin. Ini semua udah kejadianNya” timpal June.
Kristin menghargai perhatian ketiga temannya itu. Namun bagi Kristin sendiri, kata-kata mereka sangat tidak berguna. Malahan makin membuatnya terpuruk.
......
“Rasanya kamu perlu mama ijinkan beberapa hari untuk tidak masuk sekolah” tawar ibu Kristin. Melihat kondisi anaknya yang berubah total semenjak kepergian sahabat eratnya. “Kristin gapapa kok, mah. Masih kuat sekolah” ujarnya. “Tapi lihat, kamu pucat tiap hari, lesu, lemes. Gimana mama ga khawatir? Sudah nurut mama, tiga atau empat hari aja, oke?” tawar mamanya.
Mau tak mau, Kristin tidak bisa menolak kata-kata mama tercintanya. Dua hari hanya ia habiskan dikamarnya. Termenung di depan komputer, atau kadang memandangi secarik foto dirinya dan Aldo, memutar dan me-reverse berulang kali tape recordernya. Hal-hal yang tidak berguna dan membuatnya makin larut dalam kesedihannya.
Berpikir untuk lari dari semua kesedihan ini, Kristin berniat untuk keluar rumah. Ia harus mencari hiburan, ia harus menghilangkan bayang-bayang yang tak perlu diingatnya lagi. Tetapi tidak semudah yang ia kira. Di setiap saat ia berjalan, selalu saja ada ingatan tentang Aldo yang melintas didalam kepalanya. Hal ini membuat konsentrasi berjalan Kristin membuyar,”ah, lebih baik aku kembali ke rumah, daripada nanti terjadi kecelakaan konyol padaku” batinnya.
Empat hari itu sangat sia-sia bagi Kristin. Tidak ada perubahan signifikan dari pikirannya. Masih Aldo, dan Aldo lagi, setiap saat.
Kristin harus kembali masuk ke sokolah. Ia tidak mau meninggalkan banyak pelajaran penting. Apalagi, jurusan yang diambilnya adalah IPA. Mungkin saja empat hari itu sudah banyak tugas yang menggunung.
“Kristin!!!? Lo kenapa ga masuk sih kemaren? Lo sakit apaan?” serbu April saat Kristin masuk ke dalam kelas.
“Engga kok, lagi kepengen bolos aja” jawab Kristin sekenanya.
“Yaelah baru denger gue, anak pinter ngebolos tanpa alasan” cerca April.
“Yehh sok tau lo, Pril! Orang di surat ijinnya aja sakit, kok” timpal salah satu temannya pada April.
“Eh, masa?”
“Wah, jangan-jangan elo yang bolos nih, Pril?” tambah Kristin.
“Iiihh... engga lah. Orang gue masuk terus kok. Guenya kali ya yang ga tau kalo elo ijin pake surat” jelas April.
Pagi ini membuat Kristin sedikit melupakan masalahnya. Banyolan teman-temannya sudah cukup membuat Kristin tersenyum, bahkan tertawa terbahak-bahak. Apalagi, pelajaran kimia favoritnya, yang notabene memakan konsentrasi tinggi, sudah sangat berguna untuk menggantikan posisi masalahnya dengan angka-angka dan rumus.
Saat sedang istirahat, April dan salah satu temannya, Sri, sedang berbincang tentang keadaan Kristin. “Akhirnya ya Sri. Kristin bisa senyum lagi” ujar April lega.
“Iya lho,Pril. Usahakan dia seger terus sampai besok-besok. Enek juga liat dia jutek. Hahaha” balas Sri dengan dialek Jakarta berlogat Jawa yang terdengar lucu.
Hari ini dan hari seterusnya, bahkan hingga sekarang. Kristin sudah kembali seperti semula. Ia sudah sadar dari kemuramannya selama berminggu-minggu. Ia sudah kembali menjadi Kristin, walaupun tanpa ada Aldo disampingnya.
Hari ini sabtu, hari bebas baginya. Saatnya keluar rumah untuk cuci mata. Kristin berencana mengunjungi sebuah pertunjukkan musik jazz di salah satu kafe bersama April. Namun apadaya, karena April sakit, ia tidak jadi mengunjungi pertunjukkan musik tersebut. Maka Kristin memilih untuk mengunjungi toko buku.
Sesampainya disana, mata Kristin benar-benar melek. Sudah sekian lama ia tidak membaca buku. Ia langsung menyatroni satu persatu rak buku dengan berbagai kategori. Hampir semua ia hampiri, entah itu novel, komik, biografi.
Namun memang nasib yang kurang mujur. Ia menemukan komik kesukaan Aldo. Komik detektif Conan. Sebuah komik itu langsung membuka kotak memori Kristin tentang Aldo. Mungkin kalau dia masih ada, seri komiknya pasti lengkap sampai edisi baru ini, batin Kristin. Ia pernah ingat, waktu SMP Aldo pernah berkata “Nih nanti aku bakal jadi detektif sekeren Conan” dengan sangat bangganya. Membuat Kristin merasa aneh melihat Aldo mupeng dan berandai-andai tidak jelas. Memikirkan itu Kristin jadi tertawa sendiri.
Bosan, menimbang-nimbang komik tersebut dan mengembalikannya ke tempat semula. Kristin mulai beralih ke rak yang lain. Namun, tanpa disengaja Kristin menabrak seseorang. Mereka berdua terjerembap. Barang-barang yang ada di dalam tas Kristin pun berantakan.
“Aduh, sori-sori, maaf ga sengaja” ujar Kristin panik sembari membereskan barangnya. Semua sudah kembali ke dalam tasnya, tetapi seperti ada yang kurang.
“Eh iya gapapa aku yang salah. Ini hape kakak” kata orang tadi sambil menyodorkan ponsel milik Kristin.
Nah, ini dia yang kucari-cari, batin Kristin. “Makasih ya. Sekali lagi maaf” ucap Kristin sambil berusaha berdiri. Kristin menerima ponsel itu, mengamati apakah ada kerusakan atau tidak. “Hape kakak gapapa kan?” ujar anak itu.
 Kristin menolehkan wajahnya pada anak itu, berniat memberi senyuman rasa terima kasih dan menandakan bahwa ponselnya baik-baik saja. Namun semburat senyum itu hilang ketika Kristin melihat wajah anak itu.
Seketika tubuh Kristin lemas. Mungkin kakinya serasa tidak dapat menopang berat badannya. Wajah anak itu sangat mirip dengan Aldo! Tidak hanya itu, mulai dari perawakan hingga caranya melihat sesuatu dilakukannya persis seperti Almarhum Aldo. Ini membuat air mata Kristin meleleh dalam tatapannya yang kosong. Speechless dengan apa yang dilihatnya. Ini mimpikah? Atau dia hantu?, pikirannya sungguh sangat kacau.
“Eh? Hapenya rusak? Aduh maaf ya nanti saya ganti deh, kak” ucap bocah berseragam SMK itu panik.”Atau nanti saya benerin deh, saya bisa kok”
Kristin hanya menunduk untuk menutupi tangisannya. Ia hanya menggeleng menjawab pertanyaan itu. “terus kenapa kak? Aduh, jangan nangis dong, nanti dikira saya ngapa-ngapain kakak” ucap anak itu makin gelisah. Membuat Kristin sadar keadaan dirinya telah membuat anak itu panik.
Namun kesadarannya tak bertahan lama ketika Kristin kembali menatap wajah anak itu. Pikirannya kembali kacau dan keluarlah kata-kata yang mulai rancu. “Aldo..”ucap Kristin lirih.
“Apa? Oh saya bukan Aldo, kak. Saya Putra” balas anak itu dengan lugunya. Kristin kembali menunduk, sadar apa yang dilakukannya salah sasaran. “Oh maaf,.” Dengan cepat Kristin pergi meninggalkan bocah bernama Putra itu, sambil berusaha menutupi bekas-bekas air matanya.
Putra terdiam bingung. “ada yang ngga beres apa ya sama orang itu? Udah jelas-jelas nama gue Putra dipanggilnya Aldo. Kebagusan tau... hahaha” ucapnya sambil pergi meninggalkan tempat itu. Langkah Putra terhenti ketika melihat sebuah benda tergeletak dilantai.” Eh? BB? Ini punya siapa sih? Rasanya yang kukasihin tadi hape Andro” gumanya bertanya-tanya. Memastikan kepemilikan ponsel tersebut, Putra segera mengutak-atik ponsel tersebut. Pertama membuka BBM, ia menemukan nama Kristin Dianasri dan pin BB-nya, tetapi belum ada kejelasan foto diri karena foto yang dipasang bukan foto orang tadi.”Oh jadi namanya Kristin” ucapnya sambil mengangguk tahu. Belum puas, ia membuka media, dia menemukan foto yang wajahnya sama dengan Kristin. Wah benar ini milik cewek tadi, batinnya.”Gimana balikinnya ya? Mana orangnya udah pergi. Uhhh dungu banget sih” umpatnya.
......
Kristin duduk terdiam diatas ranjangnya. Ia semakin bingung akan apa yang di alaminya hari ini. Bayangkan saja, anak itu hampir kembar dengan Aldo, wajah, tinggi badan, badan kingkongnya juga sama menurut Kristin. Bahkan Kristin hampir mengira kalau Aldo tidak jadi meninggal. Ah, ini sungguh membuat gundah, batinnya. Kristin merapatkan kedua kakinya karena malam semakin dingin. Dilihatnya jam dinding menunjukkan angka dua belas lewat.
“Siapa ya yang masih bangun jam segini? Bbm April, ah” Kristin berbicara sendiri. Ia beranjak dari kasurnya dan segera merogoh tas selempangnya. Akan tetapi ia tidak menemukan blackberry-nya didalam. “Hah? Kok ga ada?” Kristin mulai bingung. Ia menumpahkan segala benda yang ada didalam tas itu namun tidak ada BB miliknya sama sekali. “Apa tadi jatoh ya? Aduh gawat nih kalo sampe ilang, mama ga bakalan beliin aku BB lagi” Kristin uring-uringan sendiri.
Keesokan paginya disekolah. Ia bercerita dengan ketiga teman setianya tentang BB-nya yang hilang. “Lho kok bisa ilang sih, Tin?” tanya April. “Kayaknya sih kemaren jatoh deh pas di toko buku, soalnya kemaren gue nabrak...”
“Nabrak? Nabrak apaan? Jangan bilang lo keasyikan baca sambil jalan terus nabrak mas-mas yang jaga toko buku deh” terka April asal.
Kristin bingung harus bilang apa tentang kejadian kemarin. Bisa-bisa kejadian itu menjadi bahan empuk gosipan mereka bertiga, atau malah mereka bisa mengira dirinya terlalu depresi. “Engga-engga, gue lagi meleng aja jalannya, terus nabrak orang deh. Emang kemaren gue lagi ngantuk banget” jelas Kristin berbohong.
“Yaelah, kalo ngantuk yang ada mah tidur kali, Tin. Ini malah ngeloyor ke toko buku” ucap April sedikit bercanda. “Yaudah lah, pulang sekolah kita cari disana. Siapa tau ada di pusat anak ilang” candanya lagi. “Wah somplak otak lo!” balas Kristin.
Sementara di sekolah, Putra sibuk memikirkan bagaimana cara mengembalikan ponsel mahal itu pada pemiliknya. Sejak tadi ia terus menerus membolak-balik ponsel tersebut sembari berpikir.
“Buset dahh! Hape baru, Ra?” tanya seorang temannya. Membuat Putra sedikit terkejut.
“Enggaak! Sejarah mana sih yang nyebutin anak kos bisa beli hape mahal? Bego lo, ngagetin gue aja” gerutunya. Putra adalah anak paling bisa membanyol di sekolahnya. Tak jarang apabila sekolah mengadakan suatu acara yang membutuhkan MC, pasti Putra yang dikejar. Dirinya juga memimpin ekstrakurikuler elektronika di SMK-nya. Digilai teman-temannya sudah pasti. Setiap ditanya, jawabannya pasti “Dimana lagi servis pc dengan harga super miring kalo ga ke Putra”.
 Hal ini pun sangat menolong Putra yang bersandangkan ‘anak kos paling nelangsa’. Karena orang tuanya hanya mengirim uang SPP dan bayaran kos. Uang hasil bayaran servisnya bisa ia gunakan untuk makan dan lainnya. Masalah panggilan ‘Ra’ pun ada sebabnya. Karena namanya adalah Rama Putrasaka. Sempat galau mengenai nama panggilannya,karena dirinya menyukai kesederhanaan, ia lebih menyukai nama ‘Putra’ dari bagian lengkap namanya. Jika mau dipanggil ‘Ram’ katanya nanti berkesan seperti om-om, mau dipanggil Sak nanti meleset jadi suck. Mau di panggil ‘Ka’ ia bilang terlalu keren, bisa-bisa ia dikira kakak kelas. Kalau ‘Put’ nanti dikira cewek. Dan banyak alasan lain yang membuatnya terpaksa memilih ‘Ra’ sebagai panggilannya.
“Ini hape orang, kemaren di toko buku gue habis ditabrak sama cewek meleng, tau deh mikirin apa. Jelas-jelas gue lagi mematung sambil baca buku disampingnya. Katarak kali tuh” sambungnya.
“ Wah, kesempatan tuh, Ra. Jodoh buat mengakhiri hidup jomblo elo” ucap temannya. “Kampret lo, Jo!” bentaknya sambil melemparkan buku.
Dengan tekad bulatnya mengembalikan ponsel itu. Putra berniat kembali ke toko buku tersebut sepulang sekolah. Di tempat yang sama, posisi yang sama dan rak buku yang sama. Matanya menyapu seisi ruangan mencari Kristin, namun tak kunjung ditemukannya. Sudah satu jam ia disana. Putra tidak mau menyimpan ponsel itu lebih lama, karena dapat mempersempit kamarnya yang penuh dengan CPU rusak yang perlu di servis. Dan, satu jam menunggu ternyata tidak sia sia. Ia menemukan dua orang perempuan berseragam SMA yang diantaranya adalah si Kristin. Mereka bertiga sibuk memeriksa setiap section untuk menemukan rak yang kemarin dikunjunginya.
“Nah, itu. Dateng juga” ucapnya lega. Putra mendapati Kristin bersamaan dengan Kristin mendapatinya. Kristin terdiam, tak tahu harus bicara dari mana. April pun juga ikut bingung akan apa yang dilihatnya, dan ia histeris sendiri. “Astaga ya Tuhan! Tin setan, Tin! Tin!” ucapnya sambil menarik-narik lengan baju Kristin. Ini tambah membuatnya bingung bagaimana dirinya menjelaskan tentang Aldo kedua ini.
“Maaf, kak. Ini hapenya, kemaren belum kepungut pas jatoh. Jadinya aku simpen dulu. Pasti nyariin, maaf ya?” ucapnya sambil menyodorkan blackberry itu. Namun raut wajahnya makin bingung ketika melihat perempuan yang satunya melongo lebar-lebar melihat dirinya. Akhrinya Kristin memberanikan diri untuk berbicara.”Ma..Makasih ya. Eenng.. soal temenku ini bisa aku jelasin. Jadi jangan kebingungan gitu” ucapnya dengan suara serak sekenanya.
Kini mereka bertiga duduk di kafe kopi yang terletak tidak jauh dari toko buku itu. Belum ada yang berani memulai pembicaraan. April masih melongo, Kristin sibuk memainkan kuku jarinya karena gugup, dan Putra kebingungan, melihat kedua wanita ini bergantian. Kristin mengambil dompetnya dan mengeluarkan sebuah foto. Foto dirinya bersama Aldo yang diambil tepat 10 hari sebelum Aldo pergi, dimana Aldo saat itu pulih untuk sementara. Foto itu diberikannya pada Putra. Seketika itu juga, mata Putra terbelalak melihat secarik foto tersebut.
“Hah??? Sejak kapan aku foto sama kakak?” tanyanya terkejut.
“gausah panggil kakak, Kristin aja. Lagian kita nampak seumuran. Dan ini, April” ucapnya mengenalkan April. “Dan soal siapa yang ada di foto itu, namanya Aldo. Temen aku sejak kecil. Dia udah ga ada beberapa bulan lalu” jelasnya dengan nada merendah.
“Oooh.. maaf. Tapi beneran deh, ini gue berasa ngaca di cermin. Kok bisa mirip ya?” ucapnya dengan gaya bicara yang mulai menyesuaikan. Putra memang begitu, jika kepada orang yang belum dikenalnya, ia selalu berbicara dengan bahasa formal. Tapi jika sudah mulai mengenal, gaya bahasanya berubah langsung seperti dengan teman sendiri.
“Sumpah ya, Tin. Gue kira anak ini tuh hantu. Liat coba, dari atas sampe bawah ga ada bedanya” ucap April meyakinkan. Memang benar, jika Kristin mengamatinya, Putra benar-benar seperti replika dari Aldo. Dan iya juga yakin ini memang layaknya replika. Pasalnya, ia tahu pada saat upacara kematian Aldo, Aldo lah yang ada didalam peti itu, hingga dikuburkan, peti itu sudah terkunci rapat.
“Oiya, kamu sekolah dimana, Put?” tanya April.
“Ngg... di SMK Pancasila. Tapi maaf nih sebelumnya, kalo mau manggil aku jangan Put dong” pinta Putra sedikit merengek. “Terus kamu maunya dipanggil apa?” tanya April lagi. “Pake ‘Ra’ aja” jelas Putra.
Perkenalan secara tidak disengaja ini berlangsung cukup lama. Dengan kisaran dua bulan saja, Kristin dan Putra sudah sangat akrab. Namun saat Putra bermain ke rumah Kristin, ia dianjurkan Kristin untuk menyamarkan penampilan wajahnya sebelum masuk ke rumah. Sederhana saja, kacamata dan dan topi yang dipakai terbalik sudah cukup membuat tampilan Putra berbeda. Pasalnya, kalau mama Kristin mendapati Putra tanpa makeover sederhana, beliau bisa pingsan melihat ‘hantu’ Aldo.
Suatu hari, pada saat Putra sedang ada di rumah Kristin dalam rangka membersihkan komputer Kristin dari virus yang tak pernah ada mampusnya. Putra iseng menanyakan sesuatu tentang Aldo pada Kristin.
“Tin, gue penasaran deh. Sebenernya, Aldo orangnya itu kayak apa sih? Kayaknya sangat istimewa bagi lo. Liat deh, fotonya aja ada di tiap sudut meja belajar lo” tanya Putra sembari mengutak-atik komputer. “Maaf sebelumnya, kalo pertanyaan gue udah bikin lo ga enak. Ga usah dijawab gapapa kok”.
“Hahahaha. Putra...Putra.. Gapapa lah lagian gue udah bisa nerima kenyataan. Gue yakin Aldo disana lebih bahagia, apalagi liat gue sekarang yang udah selalu berdoa buat dia. Ya walaupun gue orang yang ngga rajin ibadah. Aldo itu ketemu gue pada saat gue berumur 5 tahunan. Dia baru aja pindah ke rumah kosong tepat disebelah rumah gue dulu. Anaknya tuh dulu lugu luar biasa, susah banget yang namanya berteman. Temen aja dia milih, dan gue temen pertamanya yang paling deket sama dia” jelas Kristin sambil tersenyum mengingat segala hal.
“Kemana-mana pasti kita selalu bareng. Sampe dia milih untuk satu SD sama aku. Bahkan SMP aja bareng lagi. Yang unik darinya itu, sikap childish-nya yang ga pernah ilang sampe kita lulus SMP. Di kamarnya itu kita ngumpulin mainan bareng-bareng. Separo dari mainan gue ada di kamarnya, tapi gimanapun tetep jumlah mainannya yang lebih banyak. Walaupun dia sedikit manja, dia hampir tidak pernah berbuat kesalahan sama gue. Itu yang bikin gue sayang sama dia. Cuma, guenya yang berbuat hal bodoh sama dia. Karena PMDK yang gue trima buat bersekolah disini. Terakhir kali kita pisah sebelum gue ke Jakarta, dia kelihatan sedih baanget. Dan...” pembicaraan Kristin terhenti dengan air mata yang turun meleleh di pipinya.
Spontan, Putra meraih Kristin dan memeluknya, “Udah, gausah lo terusin. Gue tau ini emang berat”
Kristin terkejut akan apa yang anak ini perbuat. Namun, Kristin merasakan dekapan ini sama hangatnya dengan yang dulu. Kristin merasakan Aldo ada disisinya sekarang. Ia membenamkan wajahnya pada dekapan Putra. Ia menangis terisak. “Ssst... udah dong. Ntar gue dikira habis ngerusak kompi elo” candanya. Rengekan Putra sedikit membuat Kristin tersenyum. Ia berhenti dari tangisnya, teringat kembali bahwa ia harus mengikhlaskan kepergian Aldo. “Oh iya, nih. Udah bersih kompi lo. Makanya kalo mau colok-colokin Flashdisk nakal kudu di scan dulu. Ngedonlot aja ga milih-milih” ujar Putra dengan raut wajah manyun anak kecil.
“Iiihh elo deh!” teriak Kristin kecil sambil mencubit lengan Putra. “Anyway,  bayar brapa nih gue?”
“Haalahh... bayar, bayar... emang gue tukang servis PLN apa?! Kaga usah lah” jawabnya santai.
“Makasih ya , Broh! Besok-besok main lagi kesini” ucap Kristin senang.
.............
Liburan akhir semester satu adalah hal yang sangat pantas didapatkan oleh Kristin. Bagaimana tidak? Prestasinya kali ini benar-benar memuaskan. Kerja lemburnya tidak sia-sia. Dia menduduki peringkat 4 paralel jurusan IPA di sekolahnya.
“Huffft, liburannya lama juga. Enaknya ngapain ya? Mumpung minggu pertama liburan belum abis nih” ujarnya berbicara sendiri. Terbesit di pikiran Kristin untuk berlibur ke Bogor. Namun apa yang akan dikunjunginya disana? Disana sudah tidak terdapat hal yang bisa dikunjungi menurutnya. Kristin berpikir cepat dan mendapat suatu ide yang cukup gila. Bagaimana kalau dirinya mengajak Putra ke Bogor? Sekaligus menunjukkan siapa Aldo sesungguhnya. Namun dirinya kembali berpikir, apakah perlu dirinya melakukan itu.
Ah, mungkin hal ini bisa ia bicarakan nanti bersama Putra. Hari libur masih ada dua minggu lagi. Mungkin hari ini ia akan bermain dengan Putra.
Rumah kopi di dekat toko buku adalah satu-satunya tempat paling nyaman dan tenang untuk berbincang. Pepohonan yang rimbun dengan dekorasi tanaman-tanaman bonsai menyejukkan pandangan. Putra dan Kristin berada disini sekarang. Menikmati hawa sejuk Senin pagi di hari libur.
“Eh gimana raport elo, Ra?” ucap Kristin membuka pembicaraan.
“Hah? Oh, ya gitu deh” jawabnya santai. “Biasa, standar anak SMK”.
“Ya gitu dehnya gimana? Elo jangan ngomong gitu dong, semua sekolah sama kali, tergantung anaknya aja” jelas Kristin.
“Hhahhaha, iya deh. Topiknya kok ngga enak banget sih. Pagi-pagi ngopi, omongannya nilai raport” ujar Putra bercanda.
“Haahaha ya abisan akunya gada topik. Nyeletuk aja gitu. Eh iya, kita liburan bareng yuk?” tawar Kristin pada Putra.
“Kemana? Kapan? Sama siapa? Naik apaan?” jawab Putra bersemangat. Matanya berbinar-binar begitu mendengar kata berlibur.
“Yaelah, sabar dulu deh. Kayak ga pernah liburan aja”
“Iiih gue emang udah setaun ini kaga pulang kampung tau!” jelas Putra dengan wajah manyun ala anak kecil.
“Hihi sorry deh. Emang kampung halaman elo dimana?”
“Di Bogor. Kenapa? Mau nganterin gue pulang kampung?” tanya Putra penasaran.
“Wah! Kebetulan banget!!! Gue juga mau kesana kok?!” ucap Kristin senang.
“Whaa... bikin iri aja lo, ikut donk” rengek Putra.
“Emang tadinya gue mau ajak elo, tapi lo mau kagak?” tawar Kristin kembali.
“Seriusan? Bener? Yeeeeeeiii! Asyik pulkam gratis! Ngomong-ngomong naik apaan ke sono?”tanya Putra. “Naik motor lo aja, boncengan” jawab Kristin asal.
“Enak aja lo. Mau mati apa naik motor ke sono. Kereta aja deh” tolak Putra.
“Kereta..... mahal ga ya?” tanya Kristin.
“Ada kok yang murah, jadi kapan nih mau pergi? Sama siapa aja? Ga sabar nih pulkam” ujarnya dengan raut wajah gembira. “Rencananya sih mau sama nyokap, tapi kan kantor ga libur, Ra. Jadinya dia ngebolehin aku ke Bogor sama temen. Disana sih juga ada bokap. Di rumah yang dulu. Dan kalo gue pikir-pikir, lusa kita berangkat gimana?” jelas Kristin.
“Boleh, brapa lama sih?” tanya Putra lagi.
“Ya...., kira-kira ada seminggu lebih lah, lumayan noh buat lo” jelas Kristin pada Putra.
“Oke” ucapnya senang.
.............................
Memang belum beberapa lama Kristin meninggalkan Bogor sejak Aldo pergi. Tapi saat ia kembali ke kampung halamannya itu, selalu ada yang berubah di setiap sisi, perubahannya pun sangat kontras. Entah itu tatanan jalan atau bangunan-bangunan baru.
Lebih dulu ia mampir ke rumahnya bersama Putra. Seperti biasanya, Kristin menyuruh Putra merubah penampilannya jika berhadapan dengan siapapun yang berhubungan dengan Aldo. Apa mau dikata, Putra memang seperti replika diri Aldo.
Kristin mengenalkan Putra pada ayahnya. Putra pun disambut rasa berterima kasih oleh ayah Kristin, karena sudah mau menemani Kristin ke Bogor. Walau secara tidak langsung, karena tujuan Putra memang ingin pulang ke kampung halaman.
Letak rumah Putra dengan perumahan tempat Kristin tinggal memang terlampau jauh. Singkatnya, kalau Kristin di dalam kota, Putra ada di pinggiran kota.
Di suatu pagi, saat Kristin sedang bersantai di teras rumahnya Putra muncul untuk bermain dengan Kristin. “Udah pagi kali, pagernya masih di kunci ga jelas gini” sapa Putra. Membuat Kristin sedikit kaget saat Putra mengetuk-ngetukkan gerendel pagar.
“Eh, hai! Sorry tadi soalnya bokap gue baru berangkat ke kantor, trus gue kunci deh, biar ga ada yang ngeganggu” jelasnya. “Percuma kali pager yang tingginya aja separo badan gue pake dikunci, hahahah” Putra tertawa mendengar penjelasan Kristin.
Kemudian mereka berdua terlarut dalam asyiknya perbincangan, mulai dari dimana sekolah mereka saat di Bogor, kisah-kisah mereka tentang kampung halaman. Walau begitu, Putra yang lebih sering bertanya tentang Kristin. Kadang raut wajah mereka berubah-ubah dalam tiap pergantian cerita.
“Dan disebelah timur rumah gue ini, rumahnya Aldo” ujar Kristin menunjukkan. Putra berdiri, sedikit berjinjit melihat rumah itu dari tembok pembatas yang cukup tinggi.
“Oooh... sepi amat ya? Kok lo ga bilang dari tadi sih? Gue kira rumah kosong lho” kata Putra.
“Yaelah kaya mau ngontrak rumah aja” kata Kristin, “Mau liat?” lanjutnya.
“Emang boleh? Ada orangnya apa?” tanya Putra bingung.
“Orang gue aja dulu masuk rumah ga salam ga apa. Ya pasti boleh lah, tapi karna gue bawa elo, jadi harus sedikit formal, hahahahah” jelasnya bercanda. “Lo bawa kacamata sama topi kan?” tanya Kristin.
“Yah, ga bilang si. Cuma bawa kaca mata doang” jawab Putra.
“Gampanglah, gue ada topi”
Sedikit repot memang kalau Putra ikut Kristin. Apapun harus sesuai komando kalau ada sangkut pautnya dengan Aldo. Ibu Aldo menyambut ramah mereka berdua, terlebih Kristin. Dan untung saja, beliau sama sekali tidak menyadari ada replika almarhum anaknya tepat di depan matanya.
Kristin langsung membawa Putra ke kamar Aldo di atas. Sesampainya disana, Putra langsung melongo lebar-lebar, speechless. Tidak pernah dirinya melihat kamar berisi puluhan jenis mainan. Mainan yang Kristin dan Aldo kumpulkan.
Kristin memulai kembali cerita panjang tentang dirinya bersama Aldo. Mulai dari mengapa kamar ini menjadi seperti ini dan yang lainnya. Putra hanya terperangan akan sosok Aldo yang sangat berarti bagi Kristin.
“Lihat deh”, Kristin melepas kacamata dan topi Putra, sekaligus mengacak-acak rambutnya yang tertidur karena topi itu. Putra hanya menurut saja, terdiam kebingungan. Kemudian ia mengambil foto Aldo yang terpigura, sudah cukup berdebu. “Sekarang elo ngaca, sambil jejerin foto ini dideket muka elo” perintah Kristin. Putra melakukan apa yang diperintah Kristin, dan hasilnya bisa ditebak. Putra kembali melongo, antara kagum, namun bingung.
“Buseet,... berarti bener ya gue mirip asli. Sumpah gue berasa hantunya dia deh” ungkapnya terdengar lucu.
“Itu makanya, lo inget pas kita ketemu secara ga sengaja. Gue kaget setengah mati liat wujud elo sama kaya Aldo”
“Terus harus njatohin BB yang bikin gue uring-uringan buat mbalikinnya?” canda Putra. Mereka berdua tertawa terbahak- bahak tentang kejadian tempo lalu. Kehangatan didalam ruangan itu serupa dengan saat Kristin bersama Aldo. Makin sempurna dengan adanya ‘replika’nya disitu.
“Gue pengennya, kalo ada lagi orang yang sebaik Aldo, yang mau juga menggantikan posisinya. Aku gamau kehilangan orang itu lagi. Siapapun itu” jelas Kristin dengan nada suara lirih. Walaupun harapannya itu merupakan hal yang tidak mungkin terjadi.
“Ah, gue juga ga mau ngilang, apalagi buat ninggalin orang kaya elo”.
Kalimat yang Putra tuturkan membuat Kristin terkejut, bagai tersambar petir. Antara kaget, bingung, namun senang akan bunyi kalimat itu. Hanya saja dia belum tahu betul apa maksud dari kalimat itu.
“Gue sendiri juga bingung. Baru kali ini gue paling akrab sama anak cewek, paaaling akrab. Dan gue ngerasa nyaman. Jujur, dari kecil gue ga pernah peduli sama urusan hati. Ya karena demi cita-cita gue pengen sekolah di Jakarta. Tapi sejak liat elo di toko buku itu, gue ngerasa ada yang beda muncul di pikiran gue. Terlebih saat gue kebingungan mbalikin BB elo. Udah gitu elo juga ternyata orangnya baik, ceria, dan ga kaya kebanyakan cewek yang lebay ga jelas gitu. Kejujuran elo tentang segala sesuatu juga keren deh. Jadi, kalo aku boleh ngabulin statement kamu yang barusan tadi, gue usahain bisa bantu elo, ato bahkan bisa terkabul sekarang sih” jelas Putra. Walaupun agak salah tingkah dalam menyampaikannya, perasaan ini datang dari dalam hatinya.
Mendengarnya, Kristin begitu terharu. Air mata bahagia membasahi pipinya yang merah merona. Diraihnya badan Putra, dan dipeluknya, seerat kebahagiaanya sekarang.
“Makasih, makasih ya, Ra. Gue ga nyangka, elo ternyata emang bukan sekedar ‘replika’nya. Elo bener-bener menggantikan posisinya dengan takaran yang sama. Nggak lebih nggak kurang darinya. Elo juga udah lebih dari membantu harapan gue barusan, bahakan elo udah ngabulin permintaan gue. Makasih ya, Ra. Tapi elo janji kan ga bakal ninggalin gue?” ucap Kristin dengan bahagianya.
Mendengar itu semua Putra juga merasa bahagia. Belum pernah dirinya dipuji setinggi langit. “Duh, masa iya sih kita ke Bogor bareng terus yang balik ke Jakarta cuma gue?” candanya.
“Dihhh, sempet aja lo bikin orang ketawa” ucap Kristin sambil mencubit pipi gembul Putra. Mereka bedua tertawa, sangat bahagia. “makasih ya, Ra”.
Matahari memang tidak akan terbit kembali. Namun, cahaya dan kehangatan masih bersedia menemani. Bulan, bintang dan hangatnya bumi menggantikan semua yang hilang. Itulah kebahagiaan yang Kristin rasakan sekarang. kedua insan itu terbebas dari belenggu kesepian yang mengikat mereka. Kristin juga tidak perlu mengulang hal yang sama seperti yang ia lakukan dulu. Karena ada Putra disampingnya.
Memang sukar mengantikan kehangatan matahari. Namun kecintaan akan itu semua mengembalikan kehangatan dan cahaya itu. Semoga kebahagiaan tetap ada bersama mereka.
-FIN-


No comments:

Post a Comment